Klausa.co – Pada 23 Juni 1956, Gamal Abdul Nasser terpilih sebagai presiden pertama Republik Mesir. Dia memenangkan suara dari sekitar 99,95 persen pemilih Mesir. Nasser adalah tokoh yang menggulingkan monarki Mesir pada tahun 1952 dalam kudeta militer.
Kudeta tersebut merupakan luapan ketidakpuasan militer kepada pemerintah, khususnya korupsi yang terjadi pada masa kepemimpinan Raja Farouk. Pada 1922, Mesir mendapat kemerdekaanya dari Inggris. Kemerdekaan ini terwujud karena kerjasama antara pemimpin Mesir yang terdiri dari kaum bangsawan, tuan tanah, dan para pekerja.
Setelah konstitusi Mesir disahkan pada 1923, Inggris masih mengawasi pergerakan dan perkembangan Mesir dengan menetapkan Gubernurnya di Mesir. Secara tidak langsung, Inggris masih tetap mengurusi dan mendikte Mesir, meski di bawah Raja Fuad, negeri itu mulai menata pemerintahan yang baik.
Sepeninggal Raja Fuad, Mesir dikuasai Raja Farouk yang menjabat ketika baru berumur 17 tahun. Awalnya, keberadaan Farouk memimpin Mesir memberikan banyak harapan dan kebanggan dari rakyat untuk menata negeri lebih baik.
Namun antusiasme rakyat tak dibarengi kinerja baik berbagai elemen pemerintahan. Salah satunya adalah Partai Wadf yang menentang Farouk karena dianggap terlalu muda untuk memimpin.
Pada 22 Agustus 1936, pemerintahan Farouk menjalin hubungan kerja sama dengan Inggris untuk menjaga keamanan. Dampaknya Inggris menempatkan pasukan di wilayah Mesir.
Akibatnya, berbagai pro dan kontra muncul Mesir sesuai dengan idealisme masing-masing. Berbagai penyimpangan dan kriminalitas memicu situasi yang buruk di Mesir pada waktu itu, salah satunya adalah korupsi di jajaran pemerintah.
Para pejabat kerajaan menumpuk kekayaan dan aset sehingga menimbulkan kekecewaan rakyat Mesir. Di tengah kekecewaan rakyat itulah muncul kelompok oposisi yang menentang pemerintahan Raja Farouk.
Pada 1942, sekelompok perwira militer membentuk sebuah badan dengan tujuan melakukan perubahan di Mesir. Salah seorang perwira, Gamal Abdul Nasser muncul dengan gagasan membentuk organisasi Free Officer (Perwira Bebas).
Para anggota organisasi ini kemudian masuk ke dalam setiap divisi angkatan bersenjata Mesir untuk menghimpun kekuatan bersama dalam melawan pemerintahan.
Bersama dengan kelompok keamaan Ikhwanul Muslimin, Free Officer mulai menyusun serangkaian tindakan melawan pemerintah. Akhirnya, pada 23 Juli 1952 terjadi unjuk besar-besaran yang dilakukan kelompok penentang pemerintah.
Para mahasiswa dan warga turut andil melakukan aksi menentang pemerintah dan bergabung dengan para perwira ini. Ketika itu muncul ketegangan antara kelompok militer pro-Raja Farouk dengan militer yang anti pemerintahan.
Kelompok pendukung pemerintah adalah pasukan pengawal kerajaan yang menolak untuk bergabung dengan Free Officer. Pertumpahan darah tidak bisa dielakkan, yang mengakibatkan jatuh korban di kedua belah pihak.
Free Officer memberi ultimatum kepada Raja Farouk untuk mengubah Undang-Undang Dasar Mesir dan membubarkan parlemen dan mengusir pasukan Inggris. Akibat peristiwa tersebut, pada 26 Juli 1952 Raja Farouk meninggalkan Mesir. Peristiwa ini mengakiri kedudukannya sebagai pemimpin di Mesir.
Sepeninggalnya Raja Farouk, Mesir dipimpin Dewan Transisi yang dipimpin Muhammad Naguib, Aly Maher Pasha dan Soliman Hafiz Bey. Dewan ini dibentuk untuk mengisi kekosongan pemerintahan setelah Farouk turun dari jabatannya.
Pada Juni 1953, Muhammad Naguib didaulat sebagai Presiden Mesir dengan dukungan dari banyak kalangan dan pemerintah. Namun, pada 1954, Nasser muncul dari balik layar, menyingkirkan Naguib dari kekuasaan, dan memproklamirkan dirinya sebagai perdana menteri Mesir.
Dia adalah satu-satunya kandidat presiden dalam pemungutan suara tahun 1956. Dalam pemungutan suara yang sama, konstitusi baru Nasser, di mana Mesir menjadi negara sosialis satu partai dengan Islam sebagai agama resmi, disetujui oleh 99,8 persen pemilih. Nasser lantas mengukuhkan dirinya menjadi Presiden Mesir dan berkuasa hingga 28 September 1970.
Latar Belakang Bapak Pendiri Bangsa
Dalam catatan sejarah, Gamal Abdul Nasser lahir di Alexandria pada 1918. Sebagai seorang pemuda, Nasser berpartisipasi dalam demonstrasi menentang pemerintahan Inggris di Mesir kala itu. Setelah sekolah menengah, ia belajar di sebuah perguruan tinggi hukum selama beberapa bulan dan kemudian memasuki Akademi Militer Kerajaan.
Pada 1938, ia lulus sebagai letnan dua. Ketika bertugas di Sudan selama Perang Dunia II, ia membantu menemukan organisasi revolusioner rahasia yang bernama “Petugas Bebas” yang anggotanya berusaha menggulingkan keluarga kerajaan Mesir dan menggulingkan Inggris.
Pada 1948, Nasser menjabat sebagai mayor dalam perang Arab-Israel pertama dan sempat terluka dalam aksi. Pada 23 Juli 1952, Nasser memimpin 89 Perwira Bebas lainnya dalam kudeta militer yang menggulingkan rezim Raja Farouk.
Sebuah pemerintahan baru dibentuk oleh Dewan Komando Revolusioner yang dipimpin Nasser, di mana Mayor Jenderal Muhammad Naguib adalah pemimpin boneka. Pada 1954, Nasser muncul dari balik layar, menyingkirkan Naguib dari kekuasaan, dan menyatakan dirinya sebagai perdana menteri Mesir.
Dalam masa pemerintahannya, Nasser mengikuti Perang Enam Hari antara Israel dan Arab. Mesir dan para pejuang Arab lainnya kalah telak dan pasukan Israel merebut semua Sinai dan menyeberangi Terusan Suez. Setelah bencana militer, Nasser berusaha untuk mengundurkan diri.
Tetapi demonstrasi populer dan mosi percaya oleh Majelis Nasional Mesir membujuknya untuk tetap menjabat. Pada Juli 1970, Bendungan Tinggi Aswan selesai dengan bantuan Soviet yang memberikan dorongan besar bagi perekonomian Mesir. Dua bulan kemudian, Nasser meninggal karena serangan jantung di Kairo.
Kepemimpinannya kemudian digantikan oleh Anwar el-Sadat. Terlepas dari kekalahan militernya, Nasser adalah pemimpin yang populer secara konsisten selama 18 tahun berkuasa. Kebijakan ekonomi dan reformasi pertanahannya meningkatkan kualitas hidup bagi banyak orang Mesir dan wanita diberi banyak hak selama masa jabatannya.
Kekuasaannya mengakhiri kekuasaan 2.300 tahun oleh orang asing. Kebijakan independennya membuatnya dihormati tidak hanya di Mesir tetapi di seluruh dunia.
Nasser dan Soekarno
Soekarno dan Gamal Abdel Nasser selalu punya tempat spesial di hati masyarakat Indonesia dan Mesir. Nama keduanya dikenal dikenal sebagai bapak pendiri bangsa (founding fathers). Dalam beberapa kesempatan kedua pemimpin ini bahkan menunjukkan kedekatannya sebagai sahabat.
Bahkan nama Soekarno hingga kini masih diabadikan di Mesir. Alhasil, hingga kini warga masih mengenang romantisme hubungan kedua negara di bawah kepemimpinan Nasser dan Bung Karno, yang diawali dari Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung 1955.
Masa kejayaan hubungan diplomatik Mesir-Indonesia berawal ketika pemimpin Mesir Gamal Abdel Nasser pertama kali berkunjung ke Indonesia untuk menghadiri KAA di Bandung pada 1955.
Nasser ketika itu masih menjabat sebagai Perdana Menteri merangkap pelaksana tugas kepala negara setelah mendongkel Presiden pertama Mesir, Mohamed Naguib pada 1954.
Jumlah delegasi pimpinan Nasser itu tidak tanggung-tanggung, sebanyak 50 orang, mencakup antara lain Menlu Mahmoud Fauzi, Menteri Wakaf (semacam menteri agama di Indonesia) Syeikh Ahmed Hassan Bakouri, Menteri Penyuluhan Nasional Shalah Salem, Menteri Perindustrian Mohamed Abu Nasr.
Sebelum lawatan Nasser ke Indonesia, warga Mesir praktis belum mengenal Indonesia, kendati Negeri Piramida itu tercatat sebagai negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia, dua tahun pascaproklamasi, di awali pengakuan de facto pada 1946.
Nama Indonesia sendiri saat itu masih asing di telinga warga Mesir, dan di kalangan mereka hanya mengenal “Jawi”(Jawa), terkait dengan pelajar-pelajar dari Asia Tenggara yang belajar di Universitas Al Azhar.
Bahkan Sekjen Liga Arab Abdel Rahman Azzam Pasha, orang Mesir yang sangat berjasa memperjuangkan pengakuan kemerdekaan Indonesia, mengaku belum pernah mengetahui ada negara bernama Indoensia, ketika para pelajar Indonesia menemuinya untuk upaya pengakuan proklamasi.
“Saya akui bahwa ketika ditunjuk sebagai Sekjen Liga Arab pada 1945, saya tidak tahu banyak tentang Indonesia, pengetahuan saya mengenai Indonesia sangat terbatas,” kata Azzam, seperti direkam Jamil Arif dalam bukunya “Syahid ala Maulid Al Jamiah Al Arabiah”.
Dikisahkah, ketika ditemui pelajar-pelajar Indoensia, Azzam sempat memegang peta dunia untuk mencari di mana letak Indonesia, namun tidak menemukannya, dan hanya tercatat “Juzur Al Hindi Al Hulandia Al Sharqiah” (Kepulauan Hindia Belanda).
Kendati demikian, Sekjen Azzam lambat laun mulai tertarik menyuarakan masalah pengakuan kemerdekaan Indonesia dalam sidang-sidang pada pertemuan Menlu Liga Arab, setelah menampung aspirasi dari para pelajar Indonesia.
Singkat cerita, Mesir akhirnya tercatat sebagai negara pertama mengakui kemerdekaan Indonesia setelah Liga Arab mengirim utusan khususnya, Mohamed Abdel Moneim, Konjen Mesir di India, untuk menemui Presiden Soekarno di Jogjakarta pada Maret 1947.
Abdel Moneim secara dramatis menerobos blokade udara, yang diberlakukan Kolonial Belanda, lewat pesawat carteran dari Singapura.
Kehadiran Gamal Abdel Nasser dalam KAA 1955 yang melahirkan Dasasila Bandung, seolah memberi amunisi baru bagi Mesir dalam perjuangan merebut kembali hak-haknya yang dirampas kolonial asing.
Salah satu dari sepuluh butir Dasasila Bandung berbunyi “Menghormati Kedaulatan dan Teritorial Semua Bangsa”, tampaknya mengilhami Nasser untuk melakukan nasionalisasi Terusan Suez, sekitar setahun setelah KAA Bandung.
Terusan yang menghubungkan Laut Merah dan Laut Mediterania tersebut ketika itu dikuasai Inggris dan Prancis. Keputusan nasionalisasi terusan — salah satu jalur pelayaran paling sibuk di dunia itu — diambil hanya enam bulan setelah Nasir dilantik sebagai presiden pada Januari 1956.
Nasionalisasi yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 285 tahun 1956 itu disampaikan Presiden Nasser dalam satu pidato spektakuler di kota wisata Alexandria, 240 kilometer utara Kairo, Juli 1956.
Akibat nasionalisasi itu, pertempuran hebat tak terelakkan antara Mesir melawan tiga negara, yang disebut “Tripartite Aggression”, mencakup Inggris, Prancis dan Israel.
Agresi militer itu berkobar setahun setelah lawatan pertama Presiden Soekarno ke Negeri Ratu Cleopatra tersebut pada Juli 1955. Menanggapi nasionalisasi Terusan Suez, Presiden Soekarno dan rakyat Indonesia mendukung penuh sikap Presiden Nasser.
Menurut buku “Potret Hubungan Indonesia-Mesir: Jauh di Mata Dekat di Hati” (KBRI Kairo), dukungan Indonesia tersebut di sampaikan Presiden Soekarno dalam pidato HUT ke-11 Proklamasi Kemerdekaan di Istana Merdeka, 17 Agustus 1956.
Serikat buruh seluruh Indonesia, khususnya yang bekerja di perusahaan-perusahaan Inggris dan Prancis di Tanah Air, menyatakan mogok massal sebagai protes atas agresi Tripartite dan dukungan atas nasionalisasi Terusan Suez.
DPR-RI dalam sidang paripurna pada 11 Agustus 1956 secara bulat mendukung keputusan Mesir untuk nasionalisasi Terusan Suez. Dalam surat kawat dukungan kepada Presiden Nasser, Bung Karno menuturkan,
“Saya sedih mendengar berita penyerangan Inggris, Prancis dan Israel atas Mesir. Saya sampaikan kepada Anda dan rakyat Mesir yang sedang berjuang dengan penuh keberanian di bawah komando Anda, bahwa penyerangan kaum penjajah itu sangat menyentuh kalbu saya.”
“Saya yakin keadilan dan kebenaran pada akhirnya akan mengalahkan kekuatan jahat dan penjajahan. Indonesia dan negara-negara sahabat di Asia dan Afrika akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mempertahankan kedaulatan Mesir”.
Presiden Soekarno menegaskan, bantuan atau simpati yang diberikan Indonesia kepada perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa lain bukan didasarkan perhitungan untung-rugi, melainkan karena prinsip, yaitu prinsip anti-kolonial, prinsip hak merdeka, prinsip kemandirian, dan prinsip persahabatan sesama warga dunia.
Dukungan nyata Indonesia juga diwujudkan dengan pengiriman pasukan Kontingan Garuda, beranggotakan 559 personel untuk misi penjaga perdamaian segera setelah berakhirnya pertempuran Suez, yang dimenangkan Mesir.
Presiden Soekarno memimpin upacara pelepasan Kontingen Garuda di Istana Negara pada Desember 1956 untuk bergabung dengan pasukan penjaga darurat PBB (United Nations Emergency Force/UNEF).
Soekarno juga tidak setengah setengah membela kepentingan Mesir ketika meletusnya perang tujuh hari melawan Israel. Di mana Mesir terpaksa kalah karena Amerika Serikat dengan pesawat mata-mata U-2 dari CIA membantu pasukan Israel yang terpukul mundur.
Mereka memberikan informasi posisi-posisi pasukan Mesir serta lokasi-lokasi pesawat-pesawat jet tempur Mig-21 sehingga Israel dapat melakukan serangan balik ke posisi pasukan serta jet-jet tempur Mesir.
Karena kekalahan itu, Panglima Angkatan Bersenjata Mesir Marsekal Abdul Hakim Amir yang merasa bertanggung jawab atas kekalahan negerinya melakukan bunuh diri. Hal itu membuat Soekarno sangat sedih dan secara terbuka mengutuk ulah Amerika Serikat di dunia internasional.
Itu disebabkan hubungan Soekarno dengan Abdul Hakim Amir juga amat dekat, mengingat setiap ia berkunjung ke Mesir, bila pergi ke mana-mana, selalu didampingi Marsekal Abdul Hakim Amir.
Soekarno Penyelamat Universitas Islam Al Azhar Kairo
SYEIKH Dr Ali Jum’ah Muhammad Abdul Wahab mantan Mufti Besar Mesir 2003-2013 dalam wawancaranya dengan TV Kairo beberapa waktu lalu menyatakan, ‘setelah memenangi revolusinya, Gamal Abdul Nasser didukung kelompok perwira bebasnya, menyatakan akan mengadakan perombakanperombakan total untuk memperbaiki kehidupan masyarakat Mesir’ yang saat itu dinilai sangat memprihatinkan akibat penindasan rezim Raja Farouk.
Syeikh Dr Ali Jum’ah lahir di Bani Suwayf, 3 Maret 1951, menyelesaikan pendidikan S-1, S-2, hingga doktor di Universitas Al Azhar Fakultas Syariah wal Qonun Fiqhih. Ia mendapat gelar Dr honoris causa dari dua universitas, yaitu Universitas Liverpool dan Universitas Malaya.
Menurutnya, Gamal Abdul Nasser punya seorang sahabat di Indonesia, yakni Presiden Soekarno yang dikenalnya sejak bertemu untuk pertama kali pada Konferensi Asia- Afrika di Bandung 1955.
Jalinan persahabatan ini berlanjut terus hingga mereka menjadi pendiri dari Gerakan Nonblok bersama tokoh-tokoh yang lain seperti Jawaharlal Nehru dari India, Tito dari Yugoslavia, dan Kwame Nkrumah dari Ghana. Soekarno sebagai sahabat Nasser sering mengadakan kunjungan kenegaraan ke Mesir.
Dalam rangka pembebasan Irian Barat lebih kurang di 1963, Soekarno pernah minta bantuan Nasser untuk menghambat kedatangan kapal induk Belanda, Karel Doorman, ke Irian Barat paling tidak selama 2 minggu.
Nasser menyanggupi permintaan sahabatnya itu dengan jalan ketika Karel Doorman tiba di tengah Terusan Suez, ia memerintahkan kaum buruh di sana mogok total selama lebih kurang 2 minggu lebih sehingga Terusan Suez tidak dapat beroperasi karena pintu-pintu airnya tidak dapat terbuka.
Dengan begitu, kapal tersebut terjebak di tengah-tengah terusan. Waktu pemogokan selesai, Karel Doorman dapat berlayar lagi menuju Irian Barat. Namun, apa mau dikata, Belanda sudah bertekuk lutut. Kekuasaan di sana sudah diserahkan kepada PBB (sekitar Mei 1963) untuk selanjutnya akan serahkan kepada Republik Indonesia.
Menurut Dr Ali Jum’ah, perombakan- perombakan yang dilakukan Nasser termasuk di dalamnya rencana untuk menutup Universitas Islam Al Azhar dan diganti dengan suatu institusi baru.
Pada 1959 ketika Soekarno mengunjungi Mesir dan bertemu dengan sahabatnya itu. Dalam kesempatan tersebut, Nasser mengutarakan niat kepada Soekarno dan siap untuk menandatangani SK penutupan Universitas Islam Al Azhar.
Saat itu Soekarno bereaksi keras dan berkata, “Pertama itu adalah suatu keputusan yang berbahaya. Untuk itu, saya tidak setuju. Kedua, keputusan itu adalah suatu keputusan yang salah dan keliru. Selain itu, apakah Saudaraku juga akan menutup Sungai Nil dan piramida yang membuat Mesir terkenal di dunia internasional?”Nasser terhenyak.
Namun, ia tetap mendengarkan dengan saksama apa kata-kata Soekarno. Suasana menjadi hening sesaat dan akhirnya Nasser berkata, “Baiklah, Saudaraku, aku akan batalkan penandatanganan surat keputusan tadi dan terima kasih atas nasihat nasihatmu.”
Selanjutnya Nasser memanggil beberapa pejabat, antara lain Sulaiman Husein dan Said Aryan, untuk membuat konsep undang-undang mengenai penguatan fungsi Al Azhar agar lebih dikenal di dunia internasional maka lahirlah UU No 103 Tahun 1961.
Di samping itu, Nasser juga memerintahkan agar segera dibentuk Majelis Tinggi Islam, diterbitkan majalah Mimbar Islam di samping diudarakan stasiun radio Al Quran Nul Qarim. MI/DutaIlustrasi MI Semua ini terjadi setelah adanya pembicaraan dengan Soekarno sahabatnya.
Menurut Dr Ali Jum’ah, Soekarno sebenarnya seorang yang bukan anggota salah satu partai politik Islam, bahkan ia mengadopsi pemikiran tentang sosialisme dan marxisme. Namun, pemikirannya mengenai arti penting Al Azhar bagi Mesir luar biasa.
Bagi kita di Indonesia, hal tersebut sebenarnya bukan sesuatu yang baru karena kita tahu pada 1926 Soekarno sudah menulis artikelnya yang terkenal, Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme.
Eratnya persahabatan antara Nasser dan Soekarno itu terbukti ketika presiden pertama RI menyerahkan berpuluh-puluh bibit pohon mangga harumanis probolinggo untuk Nasser. Kontan hal itu dibalas dengan kiriman pohon bunga flamboyan khas Sungai Nil yang habitusnya selalu merunduk ke arah air sungai.
Oleh Soekarno, pohon-pohon tersebut ditanam di sepanjang Sungai Ciliwung sampai daerah Ancol, di sepanjang Jalan Segara di belakang Istana Negara hingga Jalan Patrice Lumumba dekat lapangan terbang Kemayoran hingga tepian Jalan Gunung Sahari Ancol.
Sayang entah mengapa di era Orde Baru seluruh pohon bunga flamboyan ditebas seluruhannya dan nama Jalan Patrice Lumumba dihilangkan dan diganti nama lain. Mungkin itu karena Patrice Lumumba dianggap tokoh beraliran kiri atau komunis.
Masih hubungannya dengan Al Azhar, pada 24 April 1960 Soekarno mendapat gelar Dr honoris causa dari Universitas Islam Al Azhar dalam bidang falsafah. Dari berbagai peristiwa tersebut, khususnya mengenai peranan Gamal Abdul Nasser Soekarno dapat menjadi catatan sejarah bagi kedua bangsa. (Tim Redaksi Klausa)