Klausa.co – Sejak 21 April 1964 atau 61 tahun lalu, Indonesia memperingati Hari Kartini, sebuah hari nasional yang mengenang perjuangan Raden Ajeng Kartini, tokoh emansipasi perempuan dari Jepara. Presiden Sukarno menetapkannya melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 108 Tahun 1964. Dalam keputusan tersebut, tanggal 21 April ditetapkan sebagai Hari Kartini, hari nasional untuk mengenang jasa-jasa R.A. Kartini dalam memperjuangkan hak-hak perempuan Indonesia, terutama dalam bidang pendidikan dan kesetaraan.
Namun, sejarah tak hanya ditulis dari Jawa. Di Kalimantan Timur (Kaltim), jauh dari pusat kekuasaan kolonial, seorang perempuan keturunan Belanda menanamkan api perjuangan yang sama. Ia adalah Aminah Syukur, guru perempuan yang mengabdikan hidupnya untuk pendidikan kaum perempuan di Samarinda.
Lahir Sebgai Atje Voorstad
Lahir pada 20 Januari 1901, ia diberi nama Atje Voorstad. Berasal dari keluarga Indo-Belanda, Atje menapaki hidup dalam lanskap kolonial Hindia Belanda yang sarat sekat rasial dan sosial. Namun perjumpaannya dengan Raden Rawan, suami pertamanya, mengubah arah hidupnya. Ia memeluk Islam dan mengganti namanya menjadi Aminah. Babak baru ini kelak dikenang tidak hanya dalam keluarga, tapi juga dalam sejarah pendidikan Bumi Etam.
Sebagian besar narasi hidupnya diliterasikan oleh Ellie Hasan, salah satu keturunannya. Dari sana diketahui bagaimana Aminah bukan hanya menjadi istri seorang pria pribumi, tapi juga penggerak pendidikan dan sosial yang melintasi batas-batas identitas kolonial.
Mendirikan Meisje School, 1928
Setelah menikah untuk kedua kalinya dengan Mohammad Jacob, Aminah menetap di Samarinda, yang kala itu merupakan pusat pemerintahan Asisten Residen Oost Borneo. Pada tahun 1928, pasangan ini mendirikan Meisje Schoo, sebuah sekolah keputrian yang didedikasikan untuk membuka akses pendidikan bagi perempuan pribumi, yang saat itu sangat tertinggal dibandingkan laki-laki.
Meisje School tak hanya menerima siswi, namun juga murid laki-laki dalam jumlah terbatas. Salah satunya adalah Abdoel Moeis Hassan, keponakan Aminah dan Jacob, yang kelak menjadi pemimpin Republiken di Kalimantan Timur pada masa Revolusi 1945–1949. Sekolah ini menjadi ruang pendidikan alternatif yang sangat dibutuhkan, di tengah ketimpangan dan segregasi sistem pendidikan kolonial.
Guru Sejati dari Sungai Pinang ke Wilhelmina Straat
Di luar Meisje School, Aminah juga aktif mengajar di berbagai sekolah formal di Samarinda. Ia pernah menjadi guru di SD Negeri Sungai Pinang (kini di Jalan Imam Bonjol), SD Permandian (dekat Kantor PDAM), serta di Sekolah Kepandaian Puteri. Tak hanya itu, ia juga menjadi guru privat yang mendatangi rumah-rumah muridnya dengan berjalan kaki.
Rumahnya di Wilhelmina Straat—yang kini dikenal sebagai Jalan Diponegoro—menjadi tempat belajar bagi banyak anak perempuan. Sosoknya yang tegas namun penuh kasih menjadikannya dikenal sebagai “Nenek Belanda yang rajin mengajar.” Meski berlatar Belanda, Aminah Syukur dihormati oleh masyarakat Samarinda. Ia adalah bukti bahwa nilai kemanusiaan dan pengabdian jauh melampaui garis etnis dan geopolitik.
Disiplin dan Kasih, Dua Sisi Aminah
Aminah dikenal sangat disiplin dalam mendidik. Ia memperlakukan semua murid dengan keadilan dan harapan yang tinggi, tanpa membedakan latar belakang sosial atau etnis. Penghormatan masyarakat Samarinda terhadapnya menjadi cermin keterbukaan masyarakat lokal—suatu kualitas yang sering terlupakan dalam narasi sejarah kolonial yang umumnya dipenuhi ketegangan dan dominasi.
Sejarawan Rutger Bregman dalam bukunya Humankind: A Hopeful History (2019) menyatakan bahwa manusia pada dasarnya baik, dan lebih cenderung bekerja sama daripada bersaing. Gagasan ini tercermin dalam perjalanan hidup Aminah. Ia tak mengambil jarak, tak memanfaatkan privilese rasnya. Sebaliknya, ia menyatu dalam semangat gotong royong dan pembebasan melalui pendidikan.
Wafat di Jakarta, Dimakamkan di Samarinda pada Hari Kartini
Setelah lebih dari empat dekade mengabdi sebagai pendidik dan tokoh sosial, Aminah Syukur wafat pada 3 Maret 1968 di Jakarta. Namun kisahnya tak berakhir di sana. Dua tahun kemudian, pada 1970, Pemerintah Kotamadya Samarinda memfasilitasi pemindahan jenazahnya ke Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa. Sebuah upacara penghormatan diselenggarakan, bukan hanya untuk mengenang jasa-jasanya, tetapi juga sebagai simbol bahwa perjuangan perempuan Indonesia hadir di berbagai penjuru negeri.
Warisan yang Tak Lekang
Hari ini, nama Aminah Syukur hidup kembali melalui buku “Aminah Syukur: Kiprah Perempuan di Kalimantan Timur Tempo Doeloe” karya Muhammad Sarip, serta berbagai penghargaan dari Pemerintah Daerah. Tokoh seperti Hetifah Sjaifudian bahkan menyebutnya layak sejajar dengan Kartini.
Aminah Syukur bukan hanya seorang guru. Ia adalah jembatan lintas identitas, perintis pendidikan perempuan, dan saksi hidup bahwa perjuangan untuk mencerdaskan bangsa bisa dimulai dari ruang kecil, bahkan dari lorong-lorong rumah di Samarinda. (Fch2/Klausa)