Klausa.co

Perlawanan Raden Ronggo Prawirodirjo III Kontra Daendels: Cikal Bakal Perang Diponegoro

Ilustrasi Perang Diponegoro. (Foto: Istimewa)

Bagikan

Klausa.co – Ketegangan antara Kesultanan Yogyakarta dan pemerintahan kolonial Belanda di bawah kendali Marsekal Herman Willem Daendels mencapai puncaknya pada 1810. Di Madiun, Raden Ronggo Prawirodirjo III, seorang bupati yang juga mertua Pangeran Diponegoro, memilih jalan perlawanan. Baginya, kebijakan Daendels tak sekadar intervensi, tetapi ancaman nyata terhadap tatanan politik dan marwah para bangsawan Jawa.

Sejarawan Peter Carey dalam The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855 mencatat, “Pemberontakan Raden Ronggo merupakan respons atas semakin dalamnya cengkeraman kolonial terhadap Yogyakarta, terutama setelah Daendels menggulingkan Hamengkubuwono II.” Perlawanan ini, yang pecah di tanah Mataram bagian timur, adalah letupan amarah yang telah lama mendidih.

Baca Juga:  Umat Buddha Samarinda Semarakkan Waisak dengan Ritual Pindapata di Vihara Muladharma

Tekanan Daendels: Dari Jalan Raya Pos hingga Penggulingan Sultan

Sejak tiba di Jawa pada 1808, Daendels membawa pendekatan keras. Untuk mengamankan jalur komunikasi dan perdagangan, ia membangun Jalan Raya Pos (Grote Postweg) dari Anyer hingga Panarukan dengan sistem kerja paksa yang merenggut banyak nyawa. Di Yogyakarta, ia menyingkirkan Hamengkubuwono II dan menggantinya dengan Hamengkubuwono III, langkah yang mengguncang kestabilan politik di lingkungan keraton.

Bagi Raden Ronggo, situasi ini bukan sekadar permainan kekuasaan, tetapi sebuah penghinaan. Posisi dan kewibawaannya sebagai Bupati Madiun terancam setelah Daendels berencana mencopotnya dari jabatan. Saat tekanan semakin kuat, pilihan semakin sempit: tunduk atau melawan.

Madiun dan Perlawanan Terakhir Raden Ronggo

Raden Ronggo memilih mengangkat senjata. Tahun 1810, ia menggerakkan pasukannya di Madiun, menantang dominasi kolonial. Namun, Belanda bergerak cepat. Daendels mengerahkan pasukan di bawah komando Kolonel Anthonie W. de Kock untuk menumpas pemberontakan.

Baca Juga:  Konsep Smart City Harus Diselaraskan dengan Corak Perekonomian Kota Tepian

Pertempuran berlangsung sengit. Namun, meski berjuang habis-habisan, pasukan Raden Ronggo akhirnya terdesak. Ia gugur di medan perang. Perlawanan Madiun pun berakhir dengan tragis.

Pemberontakan ini memang berhasil dipadamkan, tetapi bara perlawanan tak benar-benar padam. Raden Ronggo bukan sekadar pemberontak yang kalah; ia adalah simbol perlawanan terhadap ketidakadilan kolonial. Kejatuhannya menjadi pelajaran bagi generasi selanjutnya, termasuk menantunya, Pangeran Diponegoro.

Dua dekade berselang, Diponegoro mengobarkan Perang Jawa (1825–1830), perang besar yang menguras tenaga dan sumber daya Belanda. Dalam ingatan Diponegoro, kegigihan Raden Ronggo tetap hidup, menjadi nyala api yang akhirnya membakar hegemoni kolonial di tanah Jawa. (Yah/Fch/Klausa)

Bagikan

.

.

Search
logo klausa.co

Afiliasi :

PT Klausa Media Indonesia

copyrightâ“‘ | 2021 klausa.co