Klausa.co – Konsep Dwifungsi ABRI ternyata telah menjadi praktik nyata jauh sebelum diresmikan pada 1966. Salah satu contohnya terjadi di Kalimantan Timur (Kaltim) pada era 1960-an, dengan Pangdam IX Mulawarman, Kolonel Soehario Padmodiwirio alias Hario Kecik, sebagai aktor utamanya.
Dalam buku Histori Kutai: Peradaban Nusantara di Timur Kalimantan dari Zaman Mulawarman hingga Era Republik (2023), penulis sejarah Kaltim Muhammad Sarip mengulas bagaimana intervensi Hario Kecik dalam pemilihan Wali Kota Samarinda tahun 1960 dan 1961 mencerminkan praktik Dwifungsi ABRI. Dalam epilog buku ini sejarawan Prof. Asvi Warman Adam, yang menegaskan bahwa militer saat itu berusaha memastikan jabatan wali kota dan gubernur dipegang oleh tentara.
Sejarawan Muhammad Sarip juga mengangkat peran Hario Kecik dengan merujuk riset Burhan Magenda dalam East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy (1991). Magenda menyoroti kepentingan Hario dalam jabatan Wali Kota Samarinda, yang diduga sebagai batu loncatan menuju kursi Gubernur Kaltim. Sarip bahkan mengungkap pengakuan langsung dari Hario Kecik bahwa ia terlibat dalam penangkapan Gubernur Kaltim Aji Pangeran Tumenggung Pranoto pada 1961 atas tuduhan korupsi.
Namun, Prof. Asvi memiliki pandangan berbeda. Ia menilai tidak ada indikasi dalam riset Magenda bahwa Hario Kecik ingin menjadi gubernur. Baginya, langkah Hario lebih sebagai bentuk implementasi Dwifungsi ABRI, sesuai dengan gagasan Jenderal Abdul Haris Nasution.
“Kecik ingin mempraktikkan Dwifungsi ABRI seperti ditulis dalam memoarnya. Ia ingin jabatan wali kota dan gubernur diduduki oleh tentara,” tulis Prof. Asvi dalam Histori Kutai (hlm. 283).
Meski ada perbedaan tafsir antara Sarip dan Asvi, keduanya sepakat bahwa militer memang memiliki kepentingan dalam jabatan kepala daerah. Sarip menyebut bahwa upaya Hario Kecik menangkap Gubernur Kaltim mendapat restu langsung dari Jenderal Nasution. Dalam buku Pemikiran Militer Sepanjang Masa Bangsa Indonesia (2009), Hario mengutip pernyataan Nasution yang memujinya:
“Kamu ialah panglima pertama yang memperkarakan seorang gubernur tentang korupsi.”
Namun, dalam perspektif hukum formal, tindakan ini jelas melampaui kewenangan seorang panglima militer daerah.
Fenomena Dwifungsi ABRI di Kaltim tidak bisa dilepaskan dari konteks nasional. Sejak 1950-an, militer semakin aktif dalam politik. Nasution mencetuskan konsep “Front Lebar”, yang kemudian berkembang menjadi “Jalan Tengah”, menempatkan tentara bukan hanya sebagai kekuatan pertahanan, tetapi juga aktor sosial-politik.
Praktiknya sudah terlihat di Kaltim sebelum Dwifungsi ABRI diresmikan. Hario Kecik menempatkan dua perwira militer sebagai Wali Kota Samarinda periode 1960–1965, Kapten Soedjono dan Letkol Ngoedio. Ia juga menggantikan Wali Kota Balikpapan pertama, Aji Raden Sayid Mohammad, dengan Letkol Bambang Sutikno pada 1963.
Selain menjabat Pangdam IX Mulawarman (1959–1965), Hario juga menjadi Ketua Front Nasional Kaltim, organisasi bentukan Sukarno untuk pembebasan Irian Barat dan Konfrontasi Ganyang Malaysia. Posisi ini memberinya kuasa besar, bahkan lebih dari gubernur Kaltim saat itu.
Namun, Hario gagal menempatkan tentara sebagai gubernur. DPRD Kaltim memilih Abdoel Moeis Hassan pada 1962, didukung oleh komunitas Banjar Samarinda, kelompok berpengaruh di Kaltim.
Militer melanjutkan aksi represif. Hario Kecik memerintahkan penangkapan Sultan Aji Mohamad Parikesit, Bupati Kutai Adji Raden Padmo, serta sejumlah tokoh Masyumi dan bangsawan Kutai atas tuduhan makar. Mereka ditahan di penjara militer Balikpapan tanpa proses peradilan.
Konflik militer dengan elite lokal Kaltim semakin tajam. Pada Agustus 1964, muncul rencana pembakaran Keraton Kutai, tetapi dicegah oleh polisi Banjar atas perintah Gubernur Abdoel Moeis Hassan.
Setelah Hario dikirim ke Uni Soviet untuk sekolah militer pada 1965, penggantinya, Brigjen Soemitro Sastrodihardjo, meneruskan kebijakan represif terhadap Kesultanan Kutai.
Pada 20 Mei 1965, Soemitro mengunjungi Keraton Kutai di Tenggarong. Sehari setelahnya, militer mengumpulkan masyarakat di Lapangan Kinibalu Samarinda dan membakar benda-benda pusaka Sultan Kutai.
Peristiwa ini diabadikan oleh jurnalis Kantor Berita Antara, Hiefnie Effendy, dalam dokumentasi foto. Soemitro dalam konferensi pers menyatakan:
“Apa yang telah terjadi itu catatlah sebagai sejarah. Kita mengganyang feodalisme, tetapi yang kita ganyang itu bukan manusianya, yang kita ganyang adalah sistemnya.”
Praktik Dwifungsi ABRI di Kaltim memiliki dua sisi. Di satu sisi, militer berperan dalam pemberantasan korupsi, seperti penangkapan Gubernur Pranoto. Namun, di sisi lain, tindakan ini dilakukan tanpa prosedur hukum yang jelas, membuka celah penyalahgunaan kekuasaan. (Nur/FCH/Klausa)