Klausa.co – Kontak senjata antara tentara Indonesia dengan pasukan penjajah Belanda, masih sering terjadi di masa awal kemerdekaan. Disebabkan oleh Belanda yang masih belum rela untuk mengakui kemerdekaan Indonesia. Bahkan Belanda terus menambah serdadunya agar dapat kembali menguasai Nusantara.
Indonesia tentu saja tak tinggal diam, di bawah kepemimpinan Jenderal Besar Sudirman, tentara Indonesia yang masih dianggap “pemberontak” oleh penjajah Belanda memberikan perlawanan sengit. Pertumpahan darah pun tak bisa dihindari. Sejarah mencatat, Indonesia dan Belanda akhirnya baru baru bersepakat untuk gencatan senjata pada 3 Agustus 1949.
Tepatnya hari ini, 72 tahun silam, pemerintah Indonesia dan Belanda mengumumkan gencatan senjata, setelah lebih tujuh bulan lamanya berperang. Gencatan senjata ini menandai babak akhir dari perang kemerdekaan. Indonesia dan Belanda akhirnya merundingkan penyelesaian sengketa dan pengakuan kedaulatan dalam Konferensi Meja Bundar. Setelah Konflik Indonesia dan Belanda yang kembali memanas sejak Desember 1948.
Dalam negosiasi-negosiasi lanjutan pasca-Perjanjian Renville, Indonesia dan Belanda sebenarnya telah sepakat untuk soal pembentukan pemerintahan federal sementara. Namun kedua negara ini terus berselisih soal gencatan senjata, pemilu, dan status TNI dalam angkatan perang pemerintahan federal.
Perdana Menteri Hatta, bahkan sampai berkirim memo kepada Komisi Jasa-Jasa Baik PBB yang jadi penengah. Hatta menyampaikan, bahwa Indonesia sudah mencoba untuk mengalah sedapatnya mendekati Belanda. Di sisi lain, Belanda malah terus membentuk pemerintahan federal tanpa melibatkan RI dan terus menuntut pembubaran TNI.
Wakil Tinggi Mahkota Belanda Dr. Beel bahkan sudah bulat dengan rencananya melancarkan aksi militer untuk melumpuhkan RI. “Pukul 21.00 tanggal 18 Desember 1948 pihak Belanda menyampaikan surat kepada Jusuf Ronodipuro, liaison officer delegasi RI di Jakarta. Isinya, terhitung mulai pukul 00.00 tanggal 19 Desember 1948 Belanda tidak terikat lagi dengan Persetujuan Renville dan perjanjian gencatan senjata,” tulis Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notisusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia (SNI) VI (2008: 248).
Dilansir dari dari Tirto.id. Sayangnya, Jusuf Ronodipuro tidak berhasil mengawatkan surat ultimatum itu kepada pemerintah RI karena sambungan telepon dan telegram telah diputus. Usahanya untuk menumpang pesawat Komisi Jasa-Jasa Baik PBB pun gagal karena dilarang Belanda. Padahal malam itu juga, Belanda sudah mempersiapkan pasukannya untuk menyerbu Yogyakarta.
Perang Terakhir
“Pada tanggal 19 Desember 1948, pukul 06.00, kudengar bunyi kapal udara lewat di atas Kaliurang menuju ke Maguwo. Kuduga ini mungkin kapal udara Belanda menuju Maguwo dan menjatuhkan beberapa bom di sana. Dari Kaliurang kelihatan meletusnya bom-bom itu,” tulis Hatta dalam memoarnya, Untuk Negeriku, Sebuah Otobiografi jilid 3 (2011: 196).
Hatta saat itu sedang bersama salah satu delegasi Komisi Jasa-Jasa Baik PBB, Thomas Critchley, di Kaliurang. Mereka berdua lalu bergegas menuju Yogyakarta. Sementara Critchley meninjau Maguwo, Hatta langsung menuju ke istana kepresidenan untuk rapat kabinet.
Rapat kabinet dadakan itu akhirnya memutuskan Presiden Sukarno, Wapres Hatta, dan menteri-menteri kabinet akan tetap berada di Yogyakarta. Sukarno lalu mengirim kawat kepada Sjafruddin Prawiranegara di Bukittinggi untuk membentuk pemerintahan darurat di sana. Sementara itu Panglima Sudirman, yang juga hadir di rapat kabinet, memutuskan untuk keluar dari Yogyakarta dan memimpin gerilya.
Tak sampai berganti hari, Belanda dapat menguasai Yogyakarta. Tiada perlawanan berarti karena saat itu satuan-satuan TNI sebagian besar berada di luar kota untuk latihan. Sukarno, Hatta, dan beberapa menteri yang tinggal di kota lalu ditawan dan diinternir ke Sumatra beberapa hari kemudian.
“Para pemimpin Republik membiarkan dirinya ditangkap dengan harapan bahwa opini dunia akan begitu tersinggung sehingga kemenangan militer Belanda akan berbalik menjadi kekalahan diplomatik,” tulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2008: 462).
Sejak itu, eskalasi konflik antara Indonesia dan Belanda kembali memanas. Menanggapi situasi tersebut, pada 22 Desember 1948 Panglima Tentara dan Teritorium Jawa Kolonel Nasution mengumumkan berlakunya pemerintahan militer di Jawa.
Tim Redaksi Tempo dalam Soedirman: Seorang Panglima, Seorang Martir (2012) menyebut Belanda melancarkan agresi dengan memobilisasi seluruh pasukannya di Jawa dan Sumatra. Sekira 15.000 pasukan diterjunkan dalam operasi darat, laut, dan udara sekaligus. Misi mereka jelas: menangkap pemimpin-pemimpin Indonesia dan menghancurkan TNI.
TNI mengantisipasinya dengan melepaskan pertahanan di kota-kota dan membangun basis-basis gerilya di pedalaman. Mereka melawan dengan melakukan sabotase dan penyergapan terhadap patroli tentara Belanda. “Sejarah membuktikan: tentara Spoor [panglima Belanda di Indonesia] dan pasukan Soedirman kemudian terlibat kontak senjata dalam front yang luas,” tulis Tim Redaksi Tempo (hlm. 32).
Jenderal Sudirman sendiri memimpin pasukannya bergerilya ke Jawa Timur dan bergabung dengan Divisi Brawijaya. Divisi Siliwangi kembali melakukan long march ke Jawa Barat dan membangun kantong-kantong gerilya di sana. Sementara Divisi Diponegoro melawan pasukan Belanda di Jawa Tengah.
Belanda Terpojok
Sesuai perhitungan pemerintah Indonesia, alih-alih memperkuat kedudukan Belanda, agresi itu justru membuat Belanda terpojok. PBB yang wakil-wakilnya berada di Yogyakarta ketika serangan terjadi geram terhadap tindakan Belanda.
Beberapa negara Asia pun menyatakan protes atas agresi Belanda dan menutup bandara mereka bagi pesawat Belanda. Reaksi berang juga ditunjukkan Amerika Serikat yang selama itu diam.
“Pada tanggal 22 Desember, Amerika Serikat menghentikan pemberian-pemberian dana bantuan lebih lanjut kepada negeri Belanda yang dimaksudkan untuk pengeluaran di Indonesia, sementara tekanan untuk menghentikan sama sekali semua bantuan ekonomi kepada Belanda semakin meningkat di dalam kongres Amerika,” tulis Ricklefs (hlm. 463).
Posisi Belanda juga kian sulit manakala negara-negara federal bentukannya di Indonesia juga mengajukan protes serupa. Kabinet Negara Indonesia Timur dan Negara Pasundan bahkan serentak mengundurkan diri sebagai bentuk protes. Hamengkubuwana IX pun menepis tawaran Belanda yang hendak menjadikannya kepala negara Jawa.
Tekanan terhadap Belanda kian keras saat Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi pada 28 Januari 1949. Resolusi itu menyerukan agar Belanda membebaskan semua pemimpin RI yang ditawan.
Dewan Keamanan PBB juga menekankan kedua negara melakukan gencatan senjata dan kembali ke meja perundingan. Penyelesaian sengketa Indonesia-Belanda pun kini diawasi PBB melalui United Nations Commission for Indonesia (UNCI).
Iin Nur Insaniwati dalam Mohamad Roem: Karier Politik dan Perjuangannya (2002) menyebut bahwa Dr. Beel menjawab resolusi itu dengan apa yang disebutnya “Rencana Beel”.
Wakil Mahkota Belanda itu bersedia mempercepat pelaksanaan konferensi penyerahan kedaulatan tanpa masa masa peralihan. Konferensi tersebut akan dihadiri wakil-wakil negara federal bentukan Belanda.
Beel menegaskan Sukarno-Hatta juga akan diundang. Mereka diundang bukan sebagai Presiden dan Wapres Indonesia, melainkan hanya sebagai tokoh politik. Rencana Beel mulanya mendapat sambutan baik dari wakil-wakil negara federal. Tapi Sukarno dan Hatta sendiri akan menolak undangan itu jika pemerintahan RI tidak dipulihkan.
Dukungan negara-negara federal terhadap Rencana Beel pun akhirnya luntur juga. Sebabnya adalah Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dilakukan para gerilyawan Indonesia. Yogyakarta berhasil dikuasai gerilyawan selama enam jam, sebelum direbut lagi oleh tentara bantuan Belanda dari Magelang dan Gombong.
“Apa yang didengar tokoh-tokoh BFO [Bijeenkomst voor Federal Overleg—wadah bagi wakil-wakil negara federal bentukan Belanda] tentang kegiatan gerilyawan RI meyakinkan mereka bahwa suatu federasi tanpa RI adalah tidak mungkin,” tulis Iin (hlm. 79).
Sementara itu, di medan tempur TNI pun mulai berhasil membalikkan keadaan. Marwati dan Nugroho (hlm. 260) menyebut operasi-operasi TNI yang mulanya defensif, kini mulai ofensif. Mereka berani keluar dari kantong gerilya dan menyerang kota-kota yang diduduki Belanda.
Gencatan Senjata
Tekanan-tekanan itu berhasil memaksa Belanda kembali ke meja perundingan. Pada 14 April 1949 delegasi Indonesia dan Belanda berunding untuk pertama kali setelah Agresi Militer II. Ketua delegasi Indonesia Mohamad Roem menekankan kepada Belanda bahwa pemerintahan RI harus dipulihkan lebih dulu sebelum perundingan-perundingan lanjutan dilakukan.
Perundingan-perundingan lanjutan itu berjalan sangat lamban karena adanya perbedaan tafsir di antara dua negara. Ketua Delegasi Belanda van Royen menyatakan bersedia memulihkan pemerintahan RI setelah pemimpin Indonesia memerintahkan TNI menghentikan gerilya. Mohamad Roem langsung menolaknya yang membuat perundingan kembali menemui kebuntuan.
Atas anjuran Merle Cochran dari UNCI, Hatta akhirnya turun tangan untuk melobi van Royen. Hasilnya, kubu Belanda pun melunak. Hatta dan van Royen sepakat bahwa pemulihan pemerintahan RI adalah jalan terbaik sesuai Resolusi Dewan Keamanan PBB 28 Januari 1949.
Perundingan puncak lalu diselenggarakan pada 7 Mei. Mohamad Roem, atas nama Presiden Sukarno dan Wapres Hatta, memberi jaminan penghentian gerilya jika pemerintahan RI telah pulih. Sementara van Royen selaku wakil Belanda menyanggupi untuk mengakhiri operasi militer, membebaskan pemimpin RI yang ditawan, dan memulihkan pemerintahan.
“Merle Cohran setelah pidato-pidato resmi tersebut, segera menyampaikan ucapan selamat kepada kedua belah pihak Indonesia dan Belanda, dan waktu itu juga menamakan persetujuan tersebut Van Royen-Roem Statements,” tulis Iin (hlm. 83).
Konflik yang memanas itu akhirnya mereda juga. Belanda mulai menarik mundur pasukannya dari daerah-daerah pendudukan sejak 24 Juni. Pada awal Juli Yogyakarta kembali diakui sebagai ibu kota RI. Sukarno, Hatta, dan pemimpin RI lainnya yang diinternir di Bangka tiba kembali di Yogyakarta pada 6 Juli.
Setelah seluruh perangkat pemerintahan RI lengkap, dimulailah upaya-upaya pelaksanaan Persetujuan Roem-Royen. Ini bukan soal yang mudah karena adanya ketidaksetujuan pimpinan TNI terhadap gencatan senjata. Sudirman, misalnya, masih kecewa pada Sukarno-Hatta yang tidak menepati janji untuk bergerilya ketika Yogyakarta diserang.
“Soedirman dan pimpinan-pimpinan tentara lainnya enggan mengakui kekuasaan sipil yang mereka anggap telah meninggalkan Republik,” tulis Ricklefs (hlm. 465).
Bahkan, pada 2 Agustus, Sudirman menghadap Sukarno untuk mengundurkan diri dari posisi panglima TNI. Ia menyatakan tak bisa lagi mengikuti kebijakan politik pemerintah. Sukarno lalu balas mengultimatum: jika Sudirman mundur, maka Sukarno-Hatta akan lebih dulu mundur.
Sore harinya, Sudirman ditemui Kolonel Nasution di rumahnya. Ditunjukkannya surat pengunduran diri yang sudah ditulis tapi belum ditandatangani. Nasution lantas mencoba melunakkan hati Sudirman. Untungnya, Panglima Besar itu luluh juga.
“Dia batal mengundurkan diri. Besoknya, Sukarno mengumumkan gencatan senjata dan meminta pasukan gerilya mematuhi perintah tersebut,” tulis Tim Redaksi Tempo (hlm. 112-113).
(Tim Redaksi Klausa)