Klausa.co – 26 Maret 1968, tepat hari ini 54 tahun silam. Terjadi perpindahan kekuasaan dari tangan Soekarno kepada Menteri Panglima Angkatan Darat Letjen Soeharto. Di hari itu, Soeharto diberi mandat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) sebagai Presiden menggantikan Soekarno, dan resmi menjadi presiden kedua RI.
Semua berawal dari gejolak aksi mahasiswa pasca-peristiwa Gerakan 30 September 1965, yang cukup menggoyang pemerintahan. Soekarno yang semestinya memimpin rapat kabinet di Istana Merdeka pada 11 Maret 1966 harus segera pergi meninggalkan tempat.
Soekarno saat itu meninggalkan Istana Kepresidenan di Jakarta setelah mendapat laporan adanya pasukan liar yang bergerak di luar Istana. Setelah itu, tiga jenderal mendatangi Soekarno di Istana Bogor, yaitu Brigjen Amirmachmud, Brigjen M Jusuf, dan Mayjen Basuki Rachmat.
Pertemuan itu kemudian menghasilkan surat mandat yang diberikan Soekarno kepada Letjen Soeharto, selaku Menteri/Panglima Angkatan Darat. Bermodalkan Supersemar, Soeharto tidak hanya memulihkan keamanan, tetapi juga secara perlahan mengambil alih kepemimpinan nasional.
Soekarno sempat menyikapinya dengan mengeluarkan pidato pembelaan yang dikenal dengan “Nawaksara”. Namun, MPRS menolak pidato pertanggungjawaban itu. Soekarno pun diberhentikan sebagai Presiden pada 22 Juni 1966 dalam Sidang Umum ke-IV MPRS.
Soeharto kemudian ditunjuk sebagai “pejabat presiden” setahun kemudian, yaitu pada Maret 1967. Penunjukan berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XXXIII/1967 pada 22 Februari 1967. Posisi ini diemban Soeharto sampai dipilihnya presiden oleh MPRS hasil pemilihan umum.
Kudeta Merangkak
Kekerasan yang terjadi sepanjang akhir 1965 sampai awal 1966 bisa dilihat sebagai awal pembangunan sebuah rezim baru. Banyak pihak yang menyebut peristiwa peralihan dari rezim Orde Lama ke Orde Baru ini sebagai kudeta merangkak oleh Jenderal Soeharto.
Sang Jenderal tak langsung “menyerang” Istana melainkan menggerogoti kekuasaan Soekarno dari bawah, kemudian menjadikan para loyalis Soekarno sebagai tahanan politik, sampai akhirnya betul-betul mengebiri kekuasaan Bung Besar.
Pengambil alihan kekuasan Soekarno barawal dari sang bapak Proklamator “dikabarkan” memberikan mandat kepada Soeharto untuk memulihkan stabilitas politik nasional yang goyah akibat Gerakan 30 September 1965.
Kata “dikabarkan” sebenarnya untuk menunjukkan mengenai polemik yang terjadi seputar Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar. Banyak yang meragukan adanya pemberian mandat itu.
Apalagi, hingga saat ini naskah asli Supersemar tidak pernah ditemukan. Dalam pidato yang disampaikan pada peringatan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1966, Presiden Soekarno menyebut mengenai Supersemar, yang juga jadi bukti keberadaannya.
Namun, Soekarno membantah telah memberikan surat kuasa untuk memberikan kekuasaan kepada Soeharto. “Dikiranya SP 11 Maret itu suatu transfer of authority, padahal tidak,” kata Soekarno dalam pidato berjudul Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah atau dikenal dengan sebutan “Jasmerah”.
Soekarno kemudian memberikan penjelasan mengenai alasan dikeluarkannya Supersemar. Menurut Soekarno, Supersemar tak lain sebagai perintah untuk menjaga stabilitas keamanan.
Sejak peristiwa Gerakan 30 September 1965, situasi politik di Indonesia bisa dibilang genting. Aksi kekerasan terjadi di berbagai wilayah. Anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia dan kelompok underbouw-nya menjadi sasaran.
Dari Supersemar ke Supertasmar
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam mengatakan, situasi politik di Jakarta, terutama di sekitar Istana Kepresidenan, pada 11 Maret 1966 memicu puncak ketegangan di lingkar kekuasaan.
Sejumlah pasukan tentara tidak dikenal diketahui mengepung Istana Kepresidenan, yang belakangan diketahui merupakan pasukan Kostrad pimpinan Kemal Idris.
Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur melaporkan soal tentara tidak dikenal itu kepada Presiden Soekarno.
Atas laporan itu, Soekarno, yang saat itu memimpin sidang kabinet, lalu menyerahkan kepemimpinan kepada Wakil Perdana Menteri Johannes Leimena. Soekarno lalu memutuskan untuk terbang ke Bogor dengan helikopter.
“Jika kondisinya masih normal, Bung Karno akan tetap di Istana Negara. Artinya, kondisi pada saat itu sudah sangat meruncing dan panas,” ujar Asvi Warman Adam dikutip dari wawancara dengan Kompas&com pada 6 Maret 2016.
Melihat rawannya situasi saat itu, penjelasan Soekarno mengenai Supersemar itu pun memiliki konteks yang bisa dipahami. Surat Perintah itu ditulis Soekarno untuk menjamin keselamatan dirinya, juga keluarga.
“Itu juga perintah pengamanan pribadi presiden, perintah pengamanan wibawa presiden, perintah pengamanan ajaran presiden, perintah pengamanan beberapa hal. Dan Jenderal Soeharto telah melaksanakan perintah itu dengan baik,” ujar Soekarno dalam “Jasmerah”.
Asvi Warman Adam menilai perintah Presiden Soekarno itu ditafsirkan berbeda oleh Soeharto. Penafsiran yang berbeda itu pertama kali diimplementasikan saat Soeharto membuat Surat Kebijakan Nomor 1/3/1966 atas nama Presiden Soekarno, untuk membubarkan PKI.
Soeharto dianggap keliru dalam menafsirkan frasa “mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya revolusi”. “Itu yang dijadikan dasar untuk pembubaran PKI. Jadi sangat sakti surat itu,” tutur Asvi.
Soekarno, dalam penuturan Asvi, marah terhadap keputusan Soeharto. Surat keputusan untuk membubarkan PKI diminta Soekarno untuk segera dicabut. Namun, Soeharto menolak. Di titik inilah dugaan Supersemar menjadi “alat kudeta” muncul.
“Soekarno melihat kekeliruan di situ, tapi Soeharto tetap melanjutkan yang dilakukannya,” tutur Asvi.
Tidak hanya marah, Soekarno kemudian membuat surat perintah baru yang menyatakan Supersemar itu tidak sah. Surat perintah itu dibuat pada 13 Maret 1966, yang dikenal dengan sebutan Supertasmar.
Keberadaan mengenai Supertasmar itu terungkap di biograi AM Hanafi, mantan Duta Besar di Kuba, yang berjudul Menggugat Kudeta Jenderal Soeharto: Dari Gestapu ke Supersemar (1998).
AM Hanafi menjelaskan, Supertasmar itu mengumumkan bahwa Supersemar bersifat administratif/teknis, dan tidak politik. Soeharto juga diminta tidak melampaui wewenangnya dan memberi laporan ke presiden.
“Hanafi disuruh untuk menghubungi beberapa orang dan menyebarkan surat untuk membantah Supersemar. Tapi dia tidak punya jalur lagi,” tutur Asvi.
Hanafi sempat menghubungi mantan Panglima Angkatan Udara Suryadharma. Namun, Suryadharma mengaku tidak lagi punya saluran untuk menyebarkan surat perintah baru dari Presiden Soekarno itu.
“Pers pun tidak mau memberitakan,” tutur Asvi Warman. Hingga saat ini, keberadaan Supertasmar pun tidak jelas.
Kepala Arsip Nasional RI Mustari Irawan juga mengakui lembaganya tidak memiliki naskah atau salinan mengenai Supertasmar itu.
Tekanan Terbitnya SupersemarÂ
Perbedaan pandangan ini kemudian menjadi dasar yang menyebut bahwa Presiden Soekarno menerbitkan Supersemar bukan atas kehendaknya.
Selama ini memang ada sejumlah kabar yang menyebut Soekarno berada dalam tekanan saat menyerahkan Supersemar kepada Letjen Soeharto, melalui tiga jenderal yang menjadi utusan.
Ketiga jenderal itu adalah Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen Muhammad Jusuf, dan Brigjen Amirmachmud. Versi lain menyebut kehadiran jenderal keempat, Mayjen Maraden Panggabean.
Versi kehadiran Maraden Panggabean itu diungkap mantan penjaga keamanan Istana Bogor, Sukarjo Wilardjito.
Menurut mantan Kepala Arsip Nasional RI, M Asichin, dalam wawancara kepada Arsip Nasional RI pada 2005, Sukarjo bahkan mengaku menyaksikan penodongan kepada Soekarno oleh Panggabean.
Asvi meragukan kebenaran cerita Sukarjo. Menurut dia, yang bisa mendekat ke ring 1 Presiden Soekarno bukan orang sembarangan.
“Tidak mungkin juga ada jenderal yang berani menodong Soekarno. Saya juga tidak yakin Panggabean itu berani,” ujar Asvi.
Istilah dipaksa dianggap Asvi tidak tepat. Soekarno dianggap lebih tepat disebut berada dalam tekanan.
“Tidak hanya oleh tiga orang jendral, tapi oleh serangkaian kejadian dan peristiwa yang menyebabkan Soekarno tidak punya pilihan lain selain Soeharto,” ucapnya.
Asvi memiliki istilah sendiri untuk situasi itu, kudeta merangkak. Soeharto sendiri sudah membantah mengenai tuduhan kudeta.
Kestabilan Revolusi atau Alat Kudeta Terselubung?
John Roosa dalam bukunya Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (2008) menyebut Soeharto dan para perwira tinggi Angkatan Darat lainnya menggunakan Gerakan 30 September (G30S) sebagai dalih untuk menegakkan kediktatoran militer di negeri ini.
“Mereka perlu menciptakan keadaan darurat nasional dan suasana yang sama sekali kacau jika hendak menumbangkan seluruh generasi kaum nasionalis dan menyapu bersih cita-cita kerakyatan Presiden Soekarno,” tulis Roosa.
Soeharto dan para pemimpin militer lainnya mengetahui bahwa mereka akan menghadapi perlawanan hebat jika militer melancarkan kudeta terhadap Sukarno secara langsung. Alih-alih menyerang istana terlebih dulu, Soeharto justru
“menyerang masyarkaat dengan kekerasan secepat kilat, lalu dengan menginjak-injak penduduk yang dicengkam ketakutan dan kebingungan melenggang masuk ke istana.”
Namun Soeharto menyangkal bertanggung jawab atas kekerasan massal 1965-66. Dalam catatan resmi yang disampaikan rezim Orde Baru dinyatakan bahwa “penumpasan PKI” telah dilakukan melalui tindakan administratif dan tanpa pertumpahan darah.
Orang yang dicurigai ditangkap, diperiksa untuk memastikan bersalah atau tidak, lalu dibagi dalam tiga golongan (A, B, dan C) sesuai tingkat keterlibatan masing-masing di dalam G30S, lalu dipenjarakan.
Dalih Pembunuhan Massal
Dalam memoarnya Suharto menulis bahwa strateginya “menumpas PKI” adalah “pengejaran, pembersihan dan penghan- curan.” Ia tidak memberi tahu pembaca bahwa ada orang yang tewas dalam proses itu. Film mengenai G-30-S yang disponsori pemerintah juga tidak menggambarkan adanya penangkapan dan pembunuhan massal.
Panel terakhir pada relief Monumen Pancasila Sakti memperlihatkan Letkol Untung di depan Mahmilub, seolah-olah proses hukum dengan kepala dingin merupakan satu-satunya bentuk reaksi militer terhadap G-30-S. Tidak ada tugu peringatan dibangun di Monumen Pancasila Sakti bagi ratusan ribu korban.
Saat menyinggung tentang kekerasan yang terjadi Suharto menjelaskannya sebagai sesuatu yang bersumber pada konflik dalam masyarakat. Dalam pidato pada 1971, ia menyampaikan analisis tentang sebab-musabab pembunuhan itu dalam satu kalimat singkat.
“Ribuan korban jatuh di daerah-daerah karena rakyat bertindak sendiri-sendiri. Juga karena prasangka-prasangka buruk antar golongan yang selama bertahun-tahun ditanamkan oleh praktek-praktek politik yang sangat sempit,” kata Soeharto.
John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (2008) menyebut banyak orang Indonesia, bahkan yang biasanya kritis terhadap propaganda negara, mempercayai bahwa pembunuhan itu merupakan tindak kekerasan yang terjadi spontan dari bawah.
Pembunuhan tersebut, kata Roosa, dianggap sebagai pengadilan liar barisan keamanan rakyat, yang membarengi usaha penupasan pemberontakan PKI oleh militer yang sangat terkendali dan terorganisasi dengan baik.
“Karena ketidaktahuan mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi di daerah-daerah lain, orang yang menyaksikan pembunuhan besar-besaran yang diatur militer di daerah tempat tinggalnya bisa jadi menganggap pembunuhan tersebut sebagai pengecualian.
“Tidak adanya pembicaraan yang terbuka dan penyelidikan yang teliti terhadap pembantaian yang terjadi telah menimbulkan ketidakpastian yang besar tentang pola umum kejahatan ini,” tulis Roosa.
(Tim Redaksi Klausa)