Klausa.co – Tentara Nasional Indonesia Angkatan Angkatan Udara (TNI-AU) punya peran penting dalam membela kedaulatan NKRI. 29 Juli 1947, kala itu kemerdekaan Indonesia masih seumur jagung. Adalah hari bersejarah bagi TNI-AU yang berhasil melancarkan aksi serangan udara untuk pertama kalinya dalam Perang Revolusi Kemerdekaan.
Target serangannya menghancurkan markas tentara Belanda di Semarang, Salatiga, dan Ambarawa. Operasi penyerangan ini merupakan aksi balas dendam, karena pihak Belanda telah melanggar Perjanjian Linggarjati yang disusul dengan Agresi Militer I.
Sejak kembali menginvasi, Belanda banyak mengerahkan operasi udara. Tujuannya untuk membombardir seluruh potensi kekuatan militer Indonesia, terutama kekuatan udara. Salah satu pusat kekuatan udara Indonesia yang hendak dihancurkan Belanda ialah Pangkalan Udara Maguwo, di Yogyakarta.
Dikutip dari buku Sejarah TNI Angkatan Udara Jilid 1. Selama 40 menit, empat pesawat pemburu milik Belanda menjatuhkan bom di atas lapangan terbang Maguwo dan Wonocatur yang menyebabkan kebakaran di beberapa lokasi pangkalan udara tersebut.
Pada 25 Juli 1947, Belanda kembali membombardir Maguwo dengan Pesawat P-40 Kitty Hawk. Serangan tersebut dibalas oleh perlawanan dari darat. Alhasil satu pesawat Belanda terkena tembakan dari darat dan melarikan diri ke Solo.
Dalam serangan tersebut, Belanda turut menyerang Pangkalan Udara Bugis (Malang), Maospati (Madiun), Panasan (Solo), Cibeureum (Tasikmalaya), dan Kalijati (Subang).
Serangan Belanda tersebut memang berhasil melumpuhkan sebagian besar hasil pembinaan kekuatan udara Indonesia, yang telah dirintis selama dua tahun pasca-kemerdekaan.
Namun, TNI-AU tak kehilangan akal. Mereka menyelamatkan dan menyembunyikan pesawat tempur yang tersisa. Cara tersebut dianggap bisa mengelabui Belanda, seolah menunjukan Indonesia tak lagi memiliki kekuatan udara untuk melakukan aksi pembalasan.
Serangan balasan pun dimulai. Strateginya dengan memanfaatkan armada yang serba terbatas. Operasi yang dipimpin oleh Komodor Muda Halim Perdanakusuma itu memutuskan untuk menyerang kekuatan udara Belanda di Semarang dan Salatiga.
Misi serangan dari udara ini diserahkan kepada empat kadet penerbang, yang saat itu masih bernama Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Keempat kadet penerbang itu usianya masih muda. Adalah Mulyono, Sutarjo Sigit, Suharnoko Harbani, dan Bambang Saptoaji.
Dalam operasi 29 Juli 1947, mereka menggunakan empat pesawat sisa peninggalan Jepang. Yaitu dive-bomber Guntai, fight-trainer Hayabusha, dan dua basic trainer Cureng. Sebelum melancarkan operasi, Mulyono cs hanya diberi kesempatan untuk beristirahat sekitar 2 jam.
Sekitar pukul 03.00 dini hari, mereka dibangunkan dan pukul 04.00 sudah harus siap di Pangkalan Udara Maguwo, Yogyakarta, untuk menerima briefing dari kepala teknisi Sujono dan Meteo dari Fatah.
Sekitar pukul 05.00 WIB, gelap masih menyelimuti Pangkalan Udara Maguwo. Kadet Penerbang Mulyono mulai bersiap untuk lepas landas menggunakan Pesawat Guntai yang dulunya milik tentara Jepang.
Keberangkatan untuk menjalankan misi mulia itu dilepas langsung oleh Kepala Staf AU Komodor Udara Suryadi Suryadarma dan Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma.
Ada kendala kala itu. Pangkalan Udara Maguwo saat itu tidak mempunyai landasan plus kondisi gelap menjadi penghalang. Jadilah saat itu dipergunakan search light atau lampu sorot yang sangat besar.
Fungsi lampu ini adalah mencari pesawat musuh di udara. Caranya lampu disorotkan sedemikian rupa menyusuri landasan yang memanjang dari barat ke timur.
Sebelum take-off, pesawat Hayabusha yang hendak dikendarai Bambang, ternyata mengalami kerusakan di sistem sinkronasi tembakan senapan mesin dan putaran baling-baling.
Sehingga hanya tiga pesawat yang bisa berangkat. Tanpa Bambang dan Hayabusha-nya, akhirnya pesawat kadet TNI-AU itu lepas landas dengan membelakangi lampu sorot tersebut.
Yang pertama kali bertolak ialah pesawat Guntai yang dikemudikan Mulyono, disusul Sutarjo sebagai fligt leader dan Suharnoko Harbani masing-masing dengan pesawat Cureng-nya.
Mereka tidak diperkenankan menggunakan lampu dan peralatan lain dalam pesawat untuk menjaga kerahasiaan operasi yang sedang dilaksanakan.
Ketiga pesawat bahkan juga tidak dilengkapi alat navigasi dan radio komunikasi, masing-masing kru pesawat ini hanya dibekali senter yang berfungsi sebagai alat komunikasi apabila diperlukan.
Untuk mengecoh para musuh, mereka juga disarankan untuk menempuh rute yang berlawanan terlebih dahulu, baru setelah itu menuju sasaran.
Walaupun para penerbang ini belum berpengalaman terbang malam, dengan penuh ketekunan dan kewaspadaan mereka bergiliran meninggalkan landasan terbang Maguwo secara lancar.
”Para kadet penerbang Indonesia yang hanya dengan penggemblengan darurat secara kilat di Sekolah Penerbang, telah berhasil melancarkan operasi udara yang pertama kali dalam sejarah perjuangan TNI Angkatan Udara,” tulis Irna dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950.
Suharnoko ditugaskan untuk mengebom daerah yang diduduki Belanda di Ambarawa, sedangkan Sigit di Salatiga, dan Mulyono di Semarang.
Bom seberat 400 kilogram yang dibawa pesawat Guntei dikemudikan Mulyono dan penembak Dulrachman ,berhasil melaksanakan misinya di Semarang. Keduanya sukses membuat panik militer Belanda.
Beberapa penerbang Belanda langsung berlarian menuju pesawat-pesawat mereka di Lanud Kaibanteng, tetapi gagal mengejar lantaran pesawat-pesawat mereka belum dipanaskan.
Sedangkan dua Cureng yang masing-masing membawa bom 50 kg yang digantung di sayap. Dua Cureng yang dipiloti Sutardjo Sigit dengan penembak Sutardjo dan Suharnoko Harbani dengan penembak Kaput.
Lagi-lagi dengan pesawat yang tak memadai karena tak dilengkapi dengan lampu penerangan dan radio itu, TNI-AU berhasil menemukan sasaran penyerangan yang diyakini sebagai markas militer Belanda di Salatiga.
Bom pun dilepas oleh awak Pesawat Cureng lainnya. Namun, hampir saja sisa bom yang ada tak diluncurkan ke bawah karena waktu terbang di daerah musuh sudah terlalu lama.
Akhirnya bom yang tersisa lebih dulu dibuka kunci pengamannya langsung dilepas paksa untuk diluncurkan ke bawah. Pesawat Cureng pun kembali ke Maguwo dengan terbang rendah di antara pucuk pepohonan guna menghindari kejaran musuh.
Selanjutnya Pesawat Cureng lainnya diterbangkan oleh Kadet Penerbang Suharnoko Harbani menuju Salatiga. Ia mendapat giliran terbang terakhir. Namun kesalahan terjadi lantaran Suharnoko salah mengikuti jalur penerbangan pesawat.
Semestinya untuk menuju Salatiga ia mengikuti jalur Soetardjo. Tetapi yang terjadi, Suharnoko malah mengikuti jalur penerbangan Mulyono menuju Semarang. Karena sudah terlanjur berada di udara, ia pun menyerang kota terdekat yang ia lalui.
Saat dirundung rasa bimbang, Suharnoko yang tengah terbang di atas Rawa Pening berdekatan dengan Ambarawa. Ia lantas memutuskan menyerang Ambarawa karena kota itu juga telah diduduki Belanda. Setelah sukses melaksanakan misi, ketiga pesawat kembali ke Pangkalan Udara Maguwo.
Para prajurit ini rata-rata masih berusia 19 tahun ketika menjalankan misi berani tersebut. Meskipun mengalami kesulitan teknis, karena primitifnya sarana pelepasan bom, namun misi masih bisa dikerjakan dengan baik.
Operasi tersebut dilaksanakan selama satu jam dan mendarat kembali ke home base pukul 06.00 WIB.
”Walaupun tidak menghancurkan sama sekali tangsi Belanda, gaung keberanian elang muda dalam Operasi Udara berhasil membangkitkan moral bangsa Indonesia dalam melawan Belanda. Selain itu, melalui Operasi Udara pula, bangsa Indonesia ingin menunjukkan kepada Belanda bahwa TNI masih ada,” tutur Kepala Museum Pusat TNI Angkatan Udara Dirgantara Mandala Letkol Sus Drs. Sudarno pada 2012.
Tujuan yang ingin dicapai dalam operasi tersebut bukan semata untuk menghancurkan kekuatan Belanda, mengingat personil dan armada TNI-AU saat itu masih kalah jauh dibandingkan dengan Belanda. Serangan udara tersebut lebih ditujukan untuk memperlihatkan eksistensi TNI-AU di mata dunia internasional.
Benar saja, serangan udara di Semarang, Salatiga, dan Ambarawa menarik perhatian dunia internasional. Radio Singapura menyiarkan serangan tersebut sebagai berita utama. Mau tak mau, Belanda pun merespons serangan tersebut dengan mengeluarkan pernyataan, namun berdana meremehkan.
Atas pengeboman itu pula, Indonesia memperoleh kemenangan strategis. Di sisi lain, meski Belanda telah meremehkan serangan tersebut, mau tak mau mereka mengakui keberadaan TNI-AU yang hanya bermodalkan dua Pesawat Cureng dan satu Pesawat Guntai, namun tetap mampu memberikan perlawanan.
Namun momen membanggakan pada pagi hari itu sayangnya tidak bertahan hingga senja. Ketika menjelang sore, pesawat Dakota VT-CLA yang ditumpangi salah satu perintis TNI-AU, Agustinus Adisucipto, ditembak jatuh pesawat “Kittyhawk” Belanda di Bantul, Yogyakarta.
Padahal pesawat Dakota adalah pesawat pembawa obat-obatan untuk didistribusikan rakyat Indonesia yang terkena dampak Agresi Militer Belanda.
Yang lebih menyedihkan lagi, dalam pesawat tersebut terdapat tiga tokoh perintis TNI-AU, yakni Komodor Muda Udara Agustinus Adisutjipto, Komodor Muda Udara Abdulrachman Saleh dan Opsir Muda Udara I Adisumarmo, gugur bersama kru dan beberapa penumpang.
Dari kedua kejadian itulah tanggal 29 Juli ditetapkan sebagai Hari Bakti TNI-AU untuk mengenang aksi heroik para tokoh militer dari kesatuan udara.
Berdasarkan Surat Keputusan Kasau Nomor: Skep/78/VII/2000 tanggal 17 Juli 2000 tempat jatuhnya pesawat Dakota VT-CLA di desa Ngoto, diresmikan menjadi Monumen Perjuangan TNI-AU.
(Tim Redaksi Klausa)