Klausa.co – Sejak memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Indonesia tidak serta merta bebas dari penjajah. Diawal-awal kemerdekaan itu, penjajah masih terus berupaya merebut kemerdekaan Indonesia. Ialah Belanda yang kembali datang untuk melakukan sejumlah serangan.
Salah satunya dengan Agresi Militer Belanda I atau Operatie Product, yang digencarkan di Indonesia, tepatnya di Pulau Jawa dan Sumatera. Peristiwa ini terjadi pada 21 Juli hingga 5 Agustus 1947. Dari kacamata Indonesia, Agresi Militer itu menjadi bukti pengkhianatan Belanda atas hasil perundingan Linggarjati pada 25 Maret 1947.
Seperti diketahui, perundingan itu menghasilkan persetujuan terkait status kemerdekaan Indonesia. Namun Belanda punya penafsiran lain. Mereka menyebut Agresi Militer sebagai Aksi Polisionil. Agresi ini merupakan istilah yang dibuat oleh Letnan Gubernur Jenderal Johannes van Mook.
Sebelumnya, ia dan pasukannya datang kembali ke Indonesia pada tanggal 23 Agustus 1945. Pasukan Sekutu dan NICA itu mendarat di Sabang, Aceh. Mereka tiba di Jakarta pada 15 September 1945 atau sebulan setelah Indonesia merdeka.
Selain membantu Sekutu untuk melucuti tentara Jepang yang tersisa, NICA di bawah pimpinan van Mook punya kepentingan lain. Atas perintah Kerajaan Belanda, Johannes van Mook menyampaikan pidato Ratu Wilhelmina.
Terkait konsepsi kenegaraan di Indonesia. Perjanjian resmi pertama yang dilakukan Belanda dan Indonesia setela
Van Mook bertindak langsung sebagai Wakil Belanda, sedangkan Indonesia, mengutus Soetan Sjahrir, Mohammad Roem, Susanto Tirtoprojo dan A.K Gani. Sedangkan Inggris sebagai pihak penengah diwakili oleh Lord Killearn.
Kala itu, Pidato Ratu Belanda menyebutkan bahwa Indonesia dan Belanda membentuk sebuah persemakmuran. Dengan kata lain, Indonesia berada di bawah naungan Kerajaan Belanda.
Namun, masyarakat dan pemerintah Indonesia yang sudah menyatakan diri merdeka, tak menerima pidato tersebut. Yang kemudian bertekad untuk memukul mundur para penjajah. Situasi ini pun mulai memanas.
Pada 15 Juli 1947, van Mook mengeluarkan ultimatum atau peringatan keras dengan meminta Indonesia menarik mundur pasukannya sejauh 10 km dari garis demarkasi atau garis gencatan senjata. Ultimatum tersebut ditolak mentah-mentah oleh pimpinan RI kala itu.
Pada tanggal 20 Juli 1947, Van Mook menyatakan melalui siaran radio bahwa Belanda tidak terikat lagi pada hasil Perundingan Linggarjati.
Sedangkan Perundingan Linggarjati itu adalah salah satu pengakuan Belanda secara de facto pada Negara Republik Indonesia.
Kurang dari 24 jam setelah itu, atau tepatnya 21 Juli 1947, Agresi Militer Belanda I pun dimulai. Tujuan utama agresi adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak.
Sebagai kedok untuk dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai Aksi Polisionil, dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri.
Pada saat itu jumlah tentara Belanda telah mencapai lebih dari 100.000 orang, dengan persenjataan yang modern, termasuk persenjataan berat yang dihibahkan oleh tentara Inggris dan tentara Australia.
Dalam bukunya, J. A. Moor menulis agresi militer Belanda I dimulai tanggal 20 Juli 1947. Belanda berhasil menerobos ke daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia diantaranya Sumatra, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Resolusi PBB Fokus serangan tentara Belanda di tiga tempat, yaitu Sumatera Timur, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sumatera Timur, sasaran mereka adalah daerah perkebunan tembakau.
Di Jawa Tengah mereka menguasai seluruh pantai utara, dan di Jawa Timur, sasaran utamanya adalah wilayah yang terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula.
Pada agresi militer pertama ini, Belanda juga mengerahkan kedua pasukan khusus, yaitu Korps Speciale Troepen (KST) di bawah Westerling dan Pasukan Para I (1e para compagnie) di bawah Kapten C. Sisselaar.
Agresi tentara Belanda berhasil merebut daerah-daerah di wilayah Republik Indonesia yang sangat penting dan kaya seperti kota pelabuhan, perkebunan dan pertambangan.
Pada 29 Juli 1947, pesawat Dakota Republik dengan simbol Palang Merah di badan pesawat yang membawa obat-obatan dari Singapura, sumbangan Palang Merah Malaya, ditembak jatuh oleh Belanda.
Peristiwa itu mengakibatkan tewasnya Komodor Muda Udara Mas Agustinus Adisucipto, Komodor Muda Udara dr. Abdulrahman Saleh dan Perwira Muda Udara I Adisumarno Wiryokusumo.
Pemerintah Republik Indonesia pun secara resmi mengadukan agresi militer yang dilakukan oleh Belanda ke PBB. Pasalnya, agresi itu dinilai telah melanggar suatu perjanjian Internasional, yaitu Persetujuan Linggarjati.
Belanda ternyata tidak memperhitungkan reaksi keras dari dunia internasional, termasuk Inggris, yang tidak lagi menyetujui penyelesaian secara militer.
Dilansir dari wikipedia, atas permintaan India dan Australia, pada 31 Juli 1947 masalah agresi militer yang dilancarkan Belanda dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB.
PBB langsung merespons dengan mengeluarkan resolusi tertanggal 1 Agustus 1947 yang isinya menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan.
Dalam kesempatan itu, PBB mengakui eksistensi RI dengan menyebut nama “Indonesia”, bukan “Netherlands Indies” atau “Hindia Belanda” dalam setiap keputusan resminya.
Atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947 Pemerintah Belanda akhirnya menyatakan akan menerima resolusi Dewan Keamanan untuk menghentikan pertempuran.
Pada 17 Agustus 1947, Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda menerima Resolusi Dewan Keamanan untuk melakukan gencatan senjata.
Kemudian pada 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda. Gencatan senjata akhirnya tercipta, akan tapi hanya untuk sementara.
Belanda kembali mengingkari janji dalam perjanjian yang disepakati berikutnya. Belanda kembali menggencarkan operasi militer yang lebih besar pada 19 Desember 1948. Operasi militer tersebut dikenal dengan Agresi Militer Belanda II. (Tim Redaksi Klausa)