Klausa.co – 30 September 1965, atau 59 tahun yang lalu, Indonesia mengalami peristiwa besar yang kerap jadi bahan teori konspirasi hingga kini. Setiap kali mendekati 30 September, ingatan kolektif bangsa kembali pada sebuah momen kelam, Gerakan 30 September (G30S) oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun, tahukah Anda bahwa partai yang identik dengan lambang palu dan arit ini juga pernah meninggalkan jejaknya di Kota Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim)?
Di sekitar Jalan Arief Rahman Hakim, Samarinda, pernah berdiri sebuah tugu unik. Tugu itu melambangkan dua alat utama dalam dunia pertukangan dan pertanian, palu dan arit. Tugu tersebut bukan sekadar monumen, melainkan simbol dari kekuatan politik besar pada masanya, PKI.
Dalam buku Historipedia Kalimantan Timur: Dari Kundungga, Samarinda hingga Ibu Kota Nusantara karya Muhammad Sarip dan Nanda Puspita Shela yang terbit pada 23 Januari 2024, dijelaskan bahwa tugu tersebut berdiri di depan kantor sebuah partai besar. Namun, kemegahannya tak bertahan lama. Massa yang dilanda amarah menghancurkan tugu itu setelah mendengar kabar bahwa PKI dituding sebagai sarang kaum atheis dan dianggap dalang di balik pembunuhan para jenderal TNI Angkatan Darat pada 1 Oktober 1965.
Penghancuran tugu palu-arit itu menjadi penanda awal runtuhnya pengaruh PKI di Samarinda dan Benua Etam secara umum. Pergerakan Para petinggi partai ditangkap, termasuk tokoh utamanya di Kalimantan Timur, Sayid Fachrul Baraqbah. Seorang bangsawan keturunan Arab dari Kesultanan Kutai, Baraqbah adalah Ketua Comite Daerah Besar (CDB) PKI Kaltim sekaligus Wakil Ketua DPRD Provinsi Kaltim. Dalam Pemilu 1958, PKI Kaltim berhasil meraih tiga kursi di DPRD.
Karier politik Baraqbah berakhir tragis. Pada 29 November 1966, ia diadili di Pengadilan Subversi di Balikpapan dan dijatuhi hukuman mati. Meski demikian, hukuman itu tak segera dieksekusi. Vonisnya diubah menjadi hukuman penjara seumur hidup setelah dipastikan bahwa Baraqbah tidak terlibat langsung dalam peristiwa G30S.
Selama di penjara Rumah Tahanan Militer (RTM) Jakarta, Baraqbah, yang memiliki latar belakang sebagai seorang habib, memberikan pelajaran bahasa Arab kepada sesama tahanan. Hukuman seumur hidupnya pun tidak benar-benar dijalani. Pada 1980-an, ia dibebaskan dan kembali ke Samarinda. Tak lama setelah kebebasannya, Baraqbah meninggal dunia.
Kisah Sayid Fachrul Baraqbah hanyalah sepotong dari banyaknya tragedi yang menimpa anggota dan simpatisan PKI. Peristiwa G30S, yang menjadi awal dari kehancuran PKI, terjadi dalam satu malam, 30 September hingga 1 Oktober 1965. Peristiwa itu merenggut nyawa enam jenderal dan satu perwira TNI Angkatan Darat, yang kemudian jasadnya ditemukan di Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Jejak kelam ini tak hanya meninggalkan luka sejarah, tetapi juga menjadi bagian dari memori kolektif bangsa yang tak akan terlupakan. (Wan/Fch/Klausa)