Klausa.co – 17 Agustus 1945 atau 79 tahun yang lalu, di rumah sederhana di Jalan Pegangsaan Timur (kini Jalan Proklamasi) nomor 56, Jakarta Pusat, Bendera Pusaka, Sang Saka Merah Putih pertama kali dikibarkan. Menjadi tanda awal mula Indonesia menjadi negara yang merdeka dan berdaulat.
Sang Saka Merah Putih menjadi saksi bisu pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dibacakan oleh Soekarno dan Hatta. Namun, di balik pengibaran bendera tersebut, terdapat kisah tentang proses pembuatannya yang penuh perjuangan dan tetesan air mata pembuatnya.
Beredar luas di jagat maya, asal kain Bendera Pusaka Merah Putih yang dikibarkan pada 17 Agustus 1945 berasal dari seprai warna putih dan kain tenda soto berwarna merah. Fatmawati, istri Soekarno yang menjahit Bendera Pusaka Merah Putih menceritakan asal muasal kain yang ia jahit menjadi bendera negara Indonesia tersebut.
Cerita pembuatan Sang Saka Merah Putih mesti ditarik setahun sebelum dikibarkan pada 1945. Dalam buku, Catatan Kecil Bersama Bung Karno, Volume I, yang terbit pada 1978, Fatmawati menceritakan, medio Oktober 1944, tepat saat kandungannya berusia sembilan bulan (sedang mengandung Guntur Soekarnoputra), datang seorang perwira Jepang yang membawa dua blok kain.
“Yang satu blok berwarna merah, sedangkan yang lain berwarna putih. Mungkin dari kantor Jawa Hokokai,” tulis Fatmawati dalam buku tersebut.
Perwira Jepang tersebut bernama Chairul Basri dari Sendenbu (Departemen Propaganda Jepang). Dia diperintahkan Kepala Sendenbu, Hitoshi Shimizu. Saat itu Chairul diminta membawa dua blok kain yang tersimpan di sebuah gudang milik Jepang di kawasan Pintu Air, Jakarta Pusat. Tepatnya di depan bekas bioskop Capitol.
“Saya diminta oleh Shimizu untuk mengambil kain itu dan mengantarnya kepada ibu Fatma,” kenang Chairul, dalam memoar, Apa yang Saya Ingat yang terbit pada 2003.
Dengan kain itulah, Fatmawati menjahit sehelai bendera Merah Putih dengan mengunakan mesin jahit tangan bermerek Singer. Pasalnya, karena kehamilannya sedang tua-tuanya, Fatmawati dilarang dokter menggunakan mesin jahit yang digerakkan dengan kaki.
Bulir air mata tak bisa dibendung Fatmawati saat menjahit bendera itu. Sebab, dirinya memiliki harapan negaranya bisa mengibarkan benderanya sendiri.
Dalam buku Berkibarlah Benderaku: Tradisi Pengibaran Bendera Pusaka yang ditulis Bondan Winarno, terdapat sejumlah kutipan dari Fatmawati.
“Berulang kali saya menumpahkan air mata di atas bendera yang sedang saya jahit itu,” dikutip dari buku yang terbit pada 2002 itu.
Bendera yang dijahitnya berukuran 274×196 sentimeter. Dengan kondisi yang sedang hamil tua dan ukuran bendera yang besar, Fatmawati baru bisa menyelesaikan bendera tersebut setelah dua hari.
Kemudian pada 1978, Shimizu diundang Presiden Soeharto menerima penghargaan dari pemerintah Indonesia. Shimizu dianggap berjasa meningkatkan hubungan Indonesia dengan Jepang. Kemudian dalam sebuah kesempatan usai menerima penghargaan, Shimizu bertemu Fatmawati.
Dalam kesempatan itulah Fatmawati menceritakan asal Sang Saka Merah Putih yang dikibarkan di Pegangsaan Timur 56. Tak lain berasal dari dua blok kain yang diberikan oleh Shimizu.
Detik-Detik Proklamasi, dan Teriakan ‘Bendera Belum Ada’
Kembali ke rumah di Jalan Pegangsaan Timur 56 pada pagi 17 Agustus 1945. Rumah milik Soekarno itu menjadi pusat persiapan pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Di halaman depan rumah, sudah berkumpul sekitar 500 orang. Mereka membawa apapun yang bisa digunakan sebagai senjata.
Memang saat itu Jepang telah dikalahkan Sekutu, dan Jakarta kala itu relatif kondusif. Namun, tak bisa dimungkiri bala tentara Dai Nippon (Jepang) masih berada di Jakarta. Langkah mereka menjadi antisipasi kalau-kalau tentara Jepang akan membubarkan perhelatan itu.
Ketika Fatmawati hendak melangkahkan kaki dari pintu rumahnya, beberapa pemuda terlihat panik. Hingga salah seorang di antaranya berteriak, “bendera belum ada”.
Fatmawati teringat dengan bendera yang dia jahit satu tahun lalu. Dia segera berbalik ke kamar tidurnya mengambil sehelai kain yang dulu ia buat sembari meneteskan air mata.
“Kemudian aku berbalik, mengambil bendera yang aku buat tatkala Guntur masih dalam kandungan, satu setengah tahun yang lalu,” tulis Fatmawati dalam buku Catatan Kecil Bersama Bung Karno, Volume I.
Di ambang pintu kamar tidurnya, Fatmawati kemudian memberikan bendera kepada salah seorang pemuda. Di ruang tamu rumahnya, sudah ada Latief Hendraningrat, Suhut Sastrokusumo, Raden Soediro Hardjodisastro (mantan Wali Kota Jakarta), Soekarno dan Mohammad Hatta.
Segera mereka menuju ke tempat upacara. Dengan Soekarno berada paling depan, disusul Hatta dan Fatmawati. Usai Soekarno membacakan Proklamasi, Bendera Merah Putih dikibarkan dengan Latief dan Suhud yang dibantu oleh Surastri Karma.
Penggunaan Bendera Sang Saka Merah Putih Asli
Bendera Pusaka Merah Putih asli hanya dikibarkan pada setiap hari ulang tahun kemerdekaan RI dari tahun 1946 hingga 1968. Setelah tahun 1969, bendera tersebut tidak lagi dikibarkan dan disimpan di Istana Merdeka karena kondisinya yang mulai rapuh. Sebagai gantinya, digunakan bendera duplikat yang terbuat dari sutra untuk upacara peringatan kemerdekaan.
Replika pertama ini dikibarkan selama 15 tahun sampai tahun 1984. Kemudian pada tahun 1985 yang mulai dikibarkan adalah replika kedua, sampai tahun 2014. Dan yang ketiga dikibarkan dari tahun 2015 sampai sekarang.
Saat ini, Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih yang asli disimpan dan dipelihara di Monumen Nasional (Monas) Jakarta.
Bendera Merah Putih di Upacara 17 Agustus di IKN
Pada 2024, upacara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 Kemerdekaan Republik Indonesia akan digelar di Ibu Kota Nusantara (IKN) dan Jakarta. Upacara ini menjadi momen spesial karena bertepatan dengan perpindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke IKN. Duplikat bendera pusaka akan dikibarkan dalam upacara tersebut, sementara bendera pusaka asli tetap disimpan dengan aman, di Monas.
Bendera duplikat Sang Saka Merah Putih dan teks proklamasi diarak dari Monas menuju (IKN) pada Sabtu, 10 Agustus 2024. Acara kirab ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Peringatan HUT ke-79 Kemerdekaan Republik Indonesia.
Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden, Yusuf Permana, menjelaskan bahwa kirab ini melibatkan banyak elemen masyarakat dan institusi. Dia menjelaskan, hal tersebut mencerminkan semangat persatuan dan gotong royong bangsa Indonesia.
“Alhamdulillah hari ini adalah hari pelaksanaan untuk kirab bendera Sang Merah Putih dan teks proklamasi,” kata Yusuf pada hari pelaksanaan kirab.
Kirab dipimpin oleh Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono. Diawali penyerahan duplikat bendera Merah Putih dan teks proklamasi yang ada di Ruang Kemerdekaan Monumen Nasional dari Kepala Sekretariat Presiden kepada Tim Purna Paskibraka Duta Pancasila.
Tim Purna Paskibraka Duta Pancasila yang bertugas sebagai pembawa bendera Merah Putih adalah Kachina Ozora dari Provinsi Kalimantan Tengah. Sementara itu, bertugas sebagai pembawa teks proklamasi adalah Keyla Azzahra Purnama dari Provinsi Sumatra Selatan.
“Yang menarik dari kirab kali ini adalah rutenya. Biasanya, rute kirab hanya dari Monas ke Istana Merdeka, tetapi kali ini kami menyelenggarakan kirab dari Monas menuju ke IKN,” jelas Yusuf.
Rute kirab melintasi beberapa titik ikonik di Jakarta, mulai dari Patung Kuda, Jalan MH Thamrin, Bundaran Hotel Indonesia, hingga Semanggi, sebelum akhirnya tiba di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma. Dengan jarak tempuh sekitar 14 kilometer, perjalanan ini diperkirakan memakan waktu sekitar 1 jam 15 menit.
Keistimewaan lain dari kirab kali ini adalah penggunaan kendaraan taktis Maung buatan Pindad untuk membawa bendera duplikat dan teks proklamasi.
“Ini juga salah satu cara kita mengangkat produksi dalam negeri,” tambah Yusuf.
Setelah perjalanan darat di Jakarta, bendera dan teks proklamasi diterbangkan menuju Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) dengan pesawat Boeing TNI AU. Setibanya di Bandara Internasional Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan, bendera dan teks proklamasi akan dibawa ke Istana Negara di IKN.
Dengan segala perjuangan dan pengorbanan yang menyertai pembuatannya, Sang Saka Merah Putih bukan hanya sekadar selembar kain, tetapi simbol dari semangat, keberanian, dan tekad bangsa Indonesia untuk merdeka. Hingga kini, bendera ini terus berkibar dengan gagah, mengingatkan kita akan sejarah panjang perjuangan bangsa. (Fch2/Klausa)