Samarinda, Klausa.co – Sidang perkara dugaan rasuah di tubuh Perusahaan Daerah (Perusda) PT Mahakam Gerbang Raja Migas (PT MGRM) milik Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, kembali digelar secara daring di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Samarinda, Kamis (12/8/2021) lalu.
Dengan kembali menghadirkan terdakwa Iwan Ratman selaku mantan Direktur Utama PT MGRM sebagai pesakitan. Seperti diketahui, Iwan Ratman didakwa melakukan tindak pidana korupsi pengerjaan proyek fiktif pembangunan tangki timbun dan terminal bahan bakar minyak (BBM).
Mengakibatkan negara menderita kerugian sebesar Rp 50 miliar. Proyek tersebut rencananya dibangun di Samboja, Balikpapan, dan Cirebon. Namun pekerjaan itu tak kunjung terlaksana. Iwan Ratman lantas dituduh menilap uang proyek sebesar Rp 50 miliar dengan cara dialirkan ke perusahaan swasta miliknya.
Dalam persidangan beragendakan pemeriksaan keterangan saksi, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kaltim, Zaenurofiq menghadirkan sebanyak tiga orang saksi.
Seluruhnya merupakan bagian dari internal dari PT MGRM. Ketiga orang yang dimintai kesaksiannya itu adalah Bambang Arwanto dan Safiq Senas, selaku pemegang saham 0,6 dan 0,4 persen.
Kemudian Ahmad Iqbal Nasution sebagai Plt Direktur Utama PT MGRM. Ia kembali dihadirkan untuk dimintai keterangannya, lantaran pada sidang sebelumnya keterbatasan waktu.
Majelis hakim yang dipimpin Hasanuddin selaku ketua majelis hakim, didampingi Arwin Kusmanta dan Suprapto sebagai hakim anggota, di awal membuka persidangan, lebih dahulu meminta keterangan saksi Ahmad Iqbal Nasution.
Dikonfirmasi usai persidangan, JPU Zaenurofiq menyampaikan poin yang disampaikan hasil dari persidangan. Disebutkannya, Iqbal lebih dipertanyakan perihal posisinya yang kini telah menggantikan posisi Iwan Ratman sebagai Plt Direktur Utama di PT MGRM.
Kepada majelis hakim, saat menjabat Iqbal mengaku telah membuka sejumlah dokumen terkait Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) maupun Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Di dalam dokumen laporan tersebut, terdakwa menyampaikan  perihal rencana pembangunan tangki timbun dan terminal BBM dengan menggunakan skema bisnis golden share.
Di mana, seharusnya PT MGRM tidak perlu mengeluarkan dana investasi apapun. Namun akan mendapatkan saham 20 persen dari bisnis tangki timbun dan terminal BBM tersebut dari para investor.
“Jadi dijelaskan, nanti biaya pembangunan tangki timbun itu dari investor pihak ketiga. Jadi tidak perlu mengeluarkan uang apapun. Dan saksi tidak tahu menahu belakangan ternyata ada pemindahan uang (Rp 50 miliar) dari rekening PT MGRM ke PT Petro T&C,” ungkap pria yang akrab disapa Rofiq tersebut.
Kemudian, saksi yang dimintai keterangannya ialah Bambang Arwanto dan Safiq Senas selaku pemegang saham 0,6 dan 0,4 persen. Di dalam persidangan keduanya menyampaikan hal yang serupa.
Bahwa pada saat berlangsungnya RUPS di 30 Desember 2019. Disampaikan adanya rencana kerja dan skema anggaran di PT MGRM.
“Jadi ada dilaporkan kerjaan tangki timbun. Pada saat pelaksanaan mereka juga tahu ada ground breaking. Namun dari keterangan berdua ini PT MGRM tidak mengeluarkan dana. Tapi tiba tiba ada uang keluar dari rekening PT MGRM ke rekening PT Petro,” ucapnya.
Keluarnya uang sebesar Rp 50 miliar dari PT MGRM Â ke PT Petro T&C ini juga tanpa sepengetahuan para pemegang saham. Selain itu, saksi Safiq juga mengaku tidak mengetahui secara jelas mengenai proyek tersebut sudah berjalan atau belum.
“Ada tidaknya belum tahu juga (saksi). Dan enggak jelas juga, bahkan dicek pun tidak ada (proyeknya),” katanya.
Selain itu dijelaskan pula terkait kewenangan para pemegang saham tersebut. Sejatinya PT MGRM dibentuk untuk menampung dana participating interest (PI) atau dividen.
Sedangkan modal awalnya berasal dari Pemkab Kukar sebesar Rp 4,95 miliar. Kemudian Rp 30 juta dari PT Tunggang Parangan dan PT Ketenaga Listrikan sebesar Rp 20 juta. Sehingga total dibentuknya perusahaan ini menghabiskan biaya sebesar Rp 5 miliar.
“Lalu, setelah berdiri ada anak perusahaan Blok Mahakam yang dikelola Pertamina. Sesuai Permen ESDM (Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral), agar ada PI dan Pemkab Kukar dapat 10 persen. Tapi harus lebih dulu diterima melalui Perusda dalam hal ini adalah PT MGRM,” jelasnya.
Semestinya, di dalam RUPS setiap ada pengalihan dana investasi yang dikeluarkan, harus ada persetujuan dari para pemegang saham. “Kalau untuk investasi itu harus disampaikan. Misalnya PT MGRM akan membuat tangki timbun dengan biaya sekian, dan harusnya (disampaikan) seperti itu,” terangnya.
“Tapi ini enggak, di dalam skema golden share hanya disampaikan skema pembangunan tangki timbun, dan Faktanya Rp 50 miliar diambil terdakwa dan dikirim ke PT Petro. Inilah yang jadi perkara dugaan korupsi itu terjadi,” tandasnya.
Disampaikan, sidang akan kembali digelar pada Kamis (18/8) pekan depan. “Masih agendanya memeriksa keterangan saksi. Tapi belum tau lagi bakal ada berapa saksi yang disiapkan untuk hadir, nanti saya kabarkan,” pungkasnya.
Seperti diketahui, mantan TOP CEO BUMD itu telah didakwa melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, hingga sebesar Rp 50 miliar. Atau setidak-tidaknya dari jumlah uang tersebut, telah merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebesar Rp 50 miliar.
Dugaan korupsi ini terkait pengalihan dana sejumlah Rp 50 Miliar ke PT Petro T&C Internasional, dengan dalih sebagai rangka pelaksanaan perjanjian kerja sama proyek tangki timbun dan terminal BBM di Samboja, Balikpapan, dan Cirebon.
Sedangkan Iwan Ratman sendiri merupakan pemilik sekaligus pemegang saham di PT Petro T&C International. Dari perusahaan inilah, diduga terdakwa Iwan Ratman menilap uang puluhan miliar tersebut.
Kerugian yang diderita negara, sebagaimana tertuang dari hasil Laporan Audit Perhitungan Kerugian Keuangan Negara dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Kalimantan Timur, dengan Nomor LAPKKN-74/PW.17/5/2021 tertanggal 16 April 2021.
Atas dugaan perbuatannya, Iwan dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1), Junto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001, tentang Perubahan atas UU Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Junto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana.
Serta subsider Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana KorupsI, Junto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana.
(Tim Redaksi Klausa)