Klausa.co – Sejarah mencatat, pada 5 Agustus 1947, diperingati sebagai akhir dari Agresi Militer Belanda I. Seperti diketahui, setelah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Indonesia tidak serta merta bebas dari penjajah.
Kala itu Belanda masih terus berupaya untuk kembali menjajah dan merebut kemerdekaan Indonesia melalui sejumlah serangan. Salah satunya ialah melalui Agresi Militer Belanda I.
Berakhirnya invasi militer pada 5 Agustus 1947 kala itu terjadi, setelah Belanda mentaati resolusi Dewan Keamanan PBB untuk mengentikan tindakan militernya terhadap Indonesia.
Dikutip dari ‘Kronik Revolusi Indonesia: 1947’, lewat Gubernur Jenderal Johannes van Mook, pemerintah Belanda melayangkan pengumuman gencatan senjata yang berlaku pada pukul 24.00 WIB, 4 Agustus 1947.
Nama Agresi Militer Belanda I adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatra terhadap Republik Indonesia yang mulai digencarkan sejak 21 Juli 1947.
Operasi Produk merupakan istilah yang dibuat oleh Letnan Gubernur Jenderal Johannes van Mook yang menegaskan bahwa hasil Perundingan Linggarjati pada 25 Maret 1947 tidak berlaku lagi.
Operasi militer ini merupakan bagian dari Aksi Polisionil yang diberlakukan Belanda dalam rangka mempertahankan penafsiran Belanda atas Perundingan Linggarjati.
Sedangkan dari sudut pandang Indonesia, Agresi Militer itu menjadi bukti pengkhianatan Belanda atas hasil perundingan Linggarjati.
Seperti diketahui, Perundingan Linggarjati kala itu telah menghasilkan persetujuan terkait status kemerdekaan Indonesia. Namun Belanda punya penafsiran lain.
Latar Belakang
Kekalahan dari Jepang dalam Perang Asia Timur Raya menyebabkan Belanda harus meninggalkan Indonesia pada tahun 1942.
Setelah itu, Indonesia dijajah oleh Jepang hingga pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia menyatakan Kemerdekaannya.
Pada tanggal 23 Agustus 1945, pasukan Sekutu dan NICA mendarat di Sabang, Aceh. Mereka tiba di Jakarta pada 15 September 1945.
Selain membantu Sekutu untuk melucuti tentara Jepang yang tersisa, NICA di bawah pimpinan van Mook atas perintah Kerajaan Belanda. Rupanya Van Mook membawa kepentingan lain.
Yaitu menjalankan pidato Ratu Wilhelmina terkait konsepsi kenegaraan di Indonesia.
Pidato pada 6 Desember 1942 melalui siaran radio itu menyebutkan, bahwa di kemudian hari akan dibentuk sebuah persemakmuran antara Kerajaan Belanda dan Hindia (Indonesia) di bawah naungan Kerajaan Belanda.
Namun, masyarakat dan pemerintah Indonesia yang sudah menyatakan diri merdeka, tak menerima pidato tersebut. Yang kemudian bertekad untuk memukul mundur para penjajah. Situasi ini pun mulai memanas.
Sedangkan, perjanjian resmi pertama yang dilakukan Belanda dan Indonesia setelah kemerdekaan adalah Perundingan Linggarjati.
Van Mook bertindak langsung sebagai wakil Belanda, sedangkan Indonesia mengutus Soetan Sjahrir, Mohammad Roem, Susanto Tirtoprojo, dan A.K. Gani. Inggris sebagai pihak penengah diwakili oleh Lord Killearn.
Namun, realisasi di lapangan tidak sepenuhnya berjalan mulus hingga pada 15 Juli 1947, van Mook mengeluarkan ultimatum supaya Pemerintah Indonesia menarik mundur pasukannya sejauh 10 km dari garis demarkasi.
Pemerintah Indonesia menentang dan memilih menolak permintaan Belanda. Pada 20 Juli 1947, Van Mook lantas menyatakan melalui siaran radio. Bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan hasil Perundingan Linggarjati.
Sedangkan Perundingan Linggarjati itu adalah salah satu pengakuan Belanda secara de facto pada Negara Republik Indonesia.
Kurang dari 24 jam setelah itu, Agresi Militer Belanda I pun dimulai. Tujuan utama agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak.
Namun sebagai kedok untuk dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai Aksi Polisionil, dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri.
Kala itu Belanda mengerahkan tentaranya mencapai lebih dari 100.000 orang. Dengan dilengkapi persenjataan yang modern, termasuk persenjataan berat yang dihibahkan oleh tentara Inggris dan tentara Australia.
Dimulainya operasi militer
Konferensi pers pada malam 20 Juli di istana, di mana Gubernur Jenderal Ilham Ard mengumumkan pada wartawan tentang dimulainya Aksi Polisionil Belanda pertama .
Serangan kemudian mulai dilakukan di beberapa daerah, seperti di Jawa Timur, bahkan telah dilancarkan tentara Belanda sejak tanggal 21 Juli malam.
Sehingga dalam bukunya, J. A. Moor menulis, agresi militer Belanda I dimulai tanggal 20 Juli 1947.
Belanda berhasil menerobos ke daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia di Sumatra, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Fokus serangan tentara Belanda di tiga tempat, yaitu Sumatra Timur, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Di Sumatra Timur, sasaran mereka adalah daerah perkebunan tembakau, di Jawa Tengah mereka menguasai seluruh pantai utara, dan di Jawa Timur, sasaran utamanya adalah wilayah yang terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula.
Pada agresi militer pertama ini, Belanda juga mengerahkan kedua pasukan khusus, yaitu Korps Speciale Troepen (KST) di bawah Westerling yang berpangkat Kapten, dan Pasukan Para I di bawah Kapten C. Sisselaar.
Pasukan KST (pengembangan dari DST) yang sejak kembali dari Pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan belum pernah beraksi lagi, kini ditugaskan tidak hanya di Jawa, melainkan dikirim juga ke Sumatra Barat.
Agresi tentara Belanda berhasil merebut daerah-daerah di wilayah Republik Indonesia yang sangat penting dan kaya seperti kota pelabuhan, perkebunan dan pertambangan.
Pada 29 Juli 1947, pesawat Dakota milik Indonesia dengan simbol Palang Merah di badan pesawat yang membawa obat-obatan dari Singapura, sumbangan Palang Merah Malaya ditembak jatuh oleh Belanda.
Peristiwa ini mengakibatkan tewasnya Komodor Muda Udara Mas Agustinus Adisucipto, Komodor Muda Udara dr. Abdulrahman Saleh dan Perwira Muda Udara I Adisumarno Wiryokusumo.
Campur Tangan PBB
Pemerintah Republik Indonesia secara resmi mengadukan agresi militer yang dilakukan oleh Belanda ke PBB. Karena agresi militer tersebut dinilai telah melanggar suatu perjanjian Internasional, yaitu Perundingan Linggarjati.
Belanda ternyata tidak memperhitungkan reaksi keras dari dunia internasional. Termasuk Inggris, yang belakangan tidak lagi menyetujui penyelesaian secara militer.
Atas permintaan India dan Australia, pada 31 Juli 1947 masalah agresi militer yang dilancarkan Belanda dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB.
Saat itu PBB langsung merespons dengan mengeluarkan resolusi tertanggal 1 Agustus 1947 yang isinya menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan.
PBB bahkan mengakui eksistensi Indonesia. Dengan langsung menyebut nama “Indonesia”, bukan “Netherlands Indies” atau “Hindia Belanda” dalam setiap keputusan resminya.
Sejak resolusi pertama, yaitu resolusi No. 27 tanggal 1 Augustus 1947, kemudian resolusi No. 30 dan 31 tanggal 25 Agustus 1947, resolusi No. 36 tanggal 1 November 1947, serta resolusi No. 67 tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB selalu menyebutkan konflik antara Republik Indonesia dengan Belanda sebagai The Indonesian Question.
Atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada 15 Agustus 1947 Pemerintah Belanda akhirnya menyatakan akan menerima resolusi Dewan Keamanan untuk menghentikan pertempuran.
Pada 17 Agustus 1947 Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda menerima Resolusi Dewan Keamanan untuk melakukan gencatan senjata, dan pada 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda.
Komite ini awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia), dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN).
Karena beranggotakan tiga negara, yaitu Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang netral. Australia diwakili oleh Richard C. Kirby, Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland dan Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank Graham.
Pemerintah Indonesia menyambut hangat keputusan gencantan senjata ini. Melalui Presiden Soekarno, turut menyampaikan hal serupa yang kemudian, juga dituruti Panglima Besar Jenderal Soedirman.
“Saya perintahkan kepada seluruh Angkatan Perang Republik Indonesia dan rakyat yang berjuang di samping Angkatan Perang kita, mulai saat ini tetap tinggal di tempat masing-masing dan menghentikan segala permusuhan,” seru Bung Karno.
Gencatan senjata akhirnya tercipta, akan tapi hanya berlangsung untuk sementara. Belanda lagi-lagi mengingkari janji dalam perjanjian yang disepakati berikutnya.
Belanda kembali menggencarkan operasi militer yang lebih besar pada 19 Desember 1948. operasi militer tersebut kemudian dikenal dengan Agresi Militer Belanda II.
(Tim Redaksi Klausa)