Samarinda, Klausa.co – Banjir yang melanda Kota Samarinda, Kalimantan Timur, beberapa hari terakhir direspon kalangan akademisi. Salah satunya datang dari Pengamat Lingkungan dan Tata Kota Warsilan. Dosen S2 Universitas Mulawarman itu ikut angkat bicara, mengenai penanganan banjir yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Kota Samarinda.
Warsilan menyebutkan, selesainya persoalan klasik yang menghantui Kota Tepian ini, masih sangat tergantung dengan konsistensi pemkot dalam menjalankan program penanggulangan banjir itu sendiri.
“Program kerja saya pikir sudah ada. Mulai dari jangka panjang, menengah dan pendek. Jadi, harus konsisten dan bertahap, mulai dari anggaran yang cukup dan arahnya jelas supaya bisa tercapai,” kata Warsilan saat ditemui awak media di kediamannya Rabu (23/3/2022).
Dengan bijak, Warsilan sampaikan jika program penanggulangan banjir yang dilakukan oleh para pemimpin Samarinda, memang tidak layak untuk dibanding-bandingkan.
Kendati demikian, upaya Wali Kota Samarinda Andi harun bersama wakilnya Rusmadi, semenjak dilantik, memang sudah menunjukkan progress yang harus diakui publik.
“Ada perubahan signifikan, mulai dari revitalisasi drainase dan program pengendalian banjir seperti pembangunan polder atau embung, sudah mulai terlihat. DAS Sungai Karang Mumus yang jadi masalah utama sedimentasi juga sudah dibenahi,” kata dia.
Warsilan menyebut, persoalan banjir di ibu kota Provinsi Kaltim ini memang bukan menjadi tanggung jawab atau tugas rumah pemerintahan Andi Harun saja. Persoalan yang sama, juga dirasakan oleh bupati/wali kota di daerah lainnya.
“Penanganannya perlu komperhensif, mulai dari reboisasi di hulu dan sistem das dihilir diperbaiki serta perbaikan dan perawatan drainase perkotaannya,” sebutnya.
Banjir yang kerap terjadi saat curah hujan sedang tinggi, atau pasangan air Sungai Mahakam juga banyak disebabkan oleh degradasi lingkungan. Terlebih, jika salurannya air terhambat. Ditambah dengan, masifnya pembangunan kawasan pemukiman yang mengurangi lahan serapan.
“Artinya daya tampung lahan untuk air hujan yang tersedia fungsinya berubah. Daerah yang sebelumnya menjadi area tangkapan air, sudah berubah fungsi,” ucapnya.
Di sisi lain, Samarinda juga disebutnya memiliki topografi wilayah yang cukup rendah. Pun demikian dengan kondisi tanah yang disebut Warsilan, jenuh menyimpan air.
“Artinya, dengan perencanaan yang sudah ditentukan serta berkelanjutan maka air sebenarnya bisa dikendalikan,” sebutnya.
Dengan begitu diperlukan konsistensi pemerintah kota Samarinda untuk menangani banjir yang bisa menjadi biang masalah sosial dan ekonomi masyarakat.
(Tim Redaksi Klausa)