Balikpapan, Klausa.co – Tim Penyidik Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur (Pidsus Kejati Kaltim) melancarkan aksi penyitaan aset berupa tanah dan bangunan. Penyitaan ini diduga terkait kasus korupsi dalam penyaluran kredit oleh Bank Kaltimtara Cabang Balikpapan kepada PT Erda Indah pada tahun 2021.
Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Kaltim, Toni Yiswanto, menjelaskan bahwa penyitaan berlangsung selama tiga hari, dari Rabu hingga Jumat, 25-27 September 2024. Dua lokasi menjadi target penyitaan, yakni di Kota Malang, Jawa Timur, dan Kota Depok, Jawa Barat.
Penyitaan ini dilakukan berdasarkan surat penetapan dari Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Samarinda, dengan Nomor: 60-61/Pen.Pid.Sus-TPK-SITA/2024/PN.Smr tanggal 25 September 2024. Beberapa aset yang disita meliputi:
1. Sebidang tanah dan bangunan di Kelurahan Karangbesuki, Kecamatan Sukun, Kota Malang, dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 5743.
2. Sebidang tanah dengan bangunan ruko di Pertokoan Graha 45 Blok A3, Kelurahan Cisalak, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 03231.
3. Sebidang tanah dengan bangunan ruko di Pertokoan Graha 45 Blok A2, Kelurahan Cisalak, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 03232.
“Langkah penyitaan ini dilakukan sebagai bagian dari penyidikan atas dugaan tindak pidana korupsi dalam penyaluran kredit kepada PT Erda Indah, sebagaimana tertuang dalam Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur Nomor: Print-06/O.4/Fd.1/07/2024, tertanggal 8 Juli 2024,” ujar Toni dalam keterangannya, Senin (30/9/2024).
Lebih lanjut, Toni memaparkan kronologis kasus ini. Pada periode 2020-2021, Bank Kaltimtara Cabang Balikpapan menyalurkan kredit modal kerja senilai Rp 15 miliar kepada PT Erda Indah. Namun, kredit tersebut didasari oleh dokumen kontrak kerja fiktif dengan PT Waskita Karya, yang seolah-olah PT Erda Indah mendapatkan proyek pembangunan hunian di Desa Lompio, Donggala, Sulawesi Tengah, dengan nilai kontrak sebesar Rp 37 miliar. Padahal, kontrak tersebut adalah palsu.
“Penyaluran kredit ini berpotensi merugikan keuangan negara sekitar Rp 15 miliar,” jelasnya.
Toni menambahkan, penyitaan ini bertujuan untuk mengumpulkan alat bukti guna memperjelas tindak pidana yang sedang disidik, sesuai dengan Pasal 38 KUHAP. (Wan/Fch/Klausa)