Samarinda, Klausa.co – Kenaikan Upah Minimum Kota (UMK) sebesar 6,5 persen secara nasional kembali menjadi polemik. Kebijakan ini dianggap hanya membawa dampak setengah hati, baik bagi pekerja maupun pengusaha. Sorotan datang dari Purwadi Purwoharsojo, akademisi ekonomi Universitas Mulawarman (Unmul). Menurutnya, keputusan ini tak lebih dari tambal sulam di tengah situasi ekonomi yang semakin pelik.
“Kenaikan ini memang menambah penghasilan pekerja. Namun, daya beli mereka tetap tertekan karena kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Tambahan di satu sisi, terkikis di sisi lain,” ujar Purwadi dalam wawancara.
Purwadi memaparkan, beban hidup yang terus melambung menjadikan kenaikan upah seperti setetes air di padang pasir. Sementara itu, pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) harus berjibaku menjaga kelangsungan bisnis mereka di tengah ongkos produksi yang meningkat.
Bagi Purwadi, formula kenaikan upah seperti ini hanya menambah panjang daftar persoalan. Ia menekankan pentingnya dialog tripartit—melibatkan pemerintah, buruh, dan pengusaha—sebagai dasar pengambilan kebijakan.
“Kebijakan yang dihasilkan melalui musyawarah cenderung lebih adil dan dapat diterima semua pihak,” katanya.
Tak berhenti di situ, Purwadi menyarankan pemerintah untuk memberikan insentif kepada sektor usaha kelas menengah. Langkah ini, menurutnya, dapat membantu pelaku usaha bertahan di tengah tekanan ekonomi sekaligus menjaga stabilitas lapangan kerja.
“Roda ekonomi sangat bergantung pada daya beli kelas menengah. Ketika daya beli melemah, dampaknya akan terasa sampai ke tingkat perusahaan,” ia menegaskan.
Namun, ia juga menyoroti satu persoalan mendasar: transparansi. Dasar perhitungan kenaikan UMK yang tidak jelas, menurutnya, hanya akan memperlebar jurang ketegangan antara pekerja dan pengusaha.
“Keputusan sepihak seperti ini, apalagi di tengah kondisi sulit, hanya akan memperburuk keadaan. Pemerintah harus bijak memastikan kebijakan ini tidak memperlebar kesenjangan,” kritiknya.
Di akhir pembicaraan, Purwadi mendorong pemerintah untuk menjadikan dialog tripartit sebagai kerangka utama dalam menyelesaikan isu-isu ekonomi, termasuk dampak kenaikan PPN.
“Kolaborasi adalah kunci. Tanpa itu, kebijakan hanya akan menjadi solusi jangka pendek yang mengorbankan kepentingan jangka panjang,” pungkasnya. (Yah/Fch/Klausa)