Jakarta, Klausa.co – Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 (putusan 90) yang mengubah syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. KPU dianggap telah melanggar kode etik dan mendukung putusan MK yang tidak demokratis.
Putusan MK 90 yang dikeluarkan pada 10 November 2023, memutuskan bahwa syarat pencalonan presiden dan wakil presiden tidak lagi ditentukan oleh jumlah kursi parlemen, melainkan oleh jumlah dukungan rakyat. Putusan ini memungkinkan calon independen atau perseorangan untuk maju dalam pemilihan presiden 2024, asalkan mendapat dukungan minimal 10 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar.
Putusan MK ini menuai kontroversi, karena dianggap menguntungkan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, yang telah menyatakan niatnya untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto. Gibran tidak memiliki partai politik yang mendukungnya, tetapi memiliki basis massa yang kuat melalui organisasi relawan dan media sosial.
KPU, sebagai penyelenggara pemilu, segera mengeluarkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 23 Tahun 2023 tentang Syarat Capres/Cawapres, yang mengatur mekanisme pencalonan perseorangan. PKPU ini mengatur bahwa calon perseorangan harus mengumpulkan dukungan rakyat melalui formulir yang disediakan oleh KPU, dan harus diverifikasi oleh KPU secara administratif dan faktual.
KPU juga menetapkan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden yang sah, setelah menerima berkas pencalonannya yang dilengkapi dengan formulir dukungan rakyat sebanyak 12,5 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar. KPU menyatakan bahwa berkas Gibran sudah memenuhi syarat administratif dan faktual, dan tidak ada temuan pelanggaran dalam proses pengumpulan dukungan rakyat.
KPU Dibela oleh Pengamat Politik
Namun, langkah KPU ini mendapat tentangan dari sejumlah aktivis pro demokrasi dan masyarakat sipil, yang menilai bahwa KPU telah melanggar kode etik dan mendukung putusan MK yang tidak mencerminkan nilai demokrasi. Mereka mengadukan KPU ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dengan harapan agar KPU dicabut kewenangannya dan dibubarkan.
Salah satu pengadu adalah Petrus Hariyanto, aktivis dari Tim Pembela Demokrasi Indonesia 2.0, yang mengajukan laporan dugaan pelanggaran kode etik oleh KPU ke DKPP, pada Kamis (16/11). Petrus menuding KPU telah melakukan pelanggaran kode etik terkait penerimaan berkas dan penetapan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres di Pilpres 2024.
“Kami ke DKPP itu untuk mengajukan pengaduan atau laporan dugaan pelanggaran kode etik oleh KPU. Terkait penerimaan berkas dan penetapan saudara Gibran Rakabuming Raka selaku calon wakil presiden dalam Pemilu tahun 2024,” ujar Patra M Zen, kuasa hukum Petrus, di kantor DKPP.
Petrus menilai bahwa KPU telah melanggar prinsip netralitas, profesionalisme, akuntabilitas, dan transparansi dalam menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara pemilu. Petrus juga menuding KPU telah bersekongkol dengan MK untuk mengubah syarat pencalonan presiden dan wakil presiden, demi menguntungkan Gibran Rakabuming Raka.
“Kami menduga ada kongkalikong antara KPU dan MK, karena putusan MK 90 itu sangat menguntungkan Gibran Rakabuming Raka, yang tidak memiliki partai politik yang mendukungnya. (Mar/Bob/Klausa)