Klausa.co – Pada 5 April 2004, rakyat Indonesia berbondong-bondong ke tempat pemungutan suara (TPS) untuk menggunakan hak pilihnya. Mereka tidak hanya memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Rakyat akan menentukan partai mana yang dapat mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Pasalnya, untuk mengikuti pemilu presiden yang digelar 5 Juli 2004, partai politik atau gabungan partai politik harus memenuhi syarat minimal 15 persen dari jumlah kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah secara nasional dalam pemilu legislatif.
Dari 24 partai politik yang ikut serta dalam pemilu legislatif, hanya enam partai yang memenuhi syarat tersebut. Mereka adalah Golkar, PDI Perjuangan, PKB, PPP, Demokrat, dan PKS.
Aturan pemilihan langsung tertuang dalam amandemen UUD 1945 pada tahun 2001, pasal 6A ayat (1). Di situ menyatakan, presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
Aturan tersebut baru dipraktikkan pada 2004. Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama yang memilih presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Sebelumnya, presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang anggota-anggotanya sendiri dipilih melalui pemilu legislatif.
Megawati dan Amandemen UUD 1945
Amandemen UUD 1945 ketiga yang disahkan melalui Sidang Tahunan MPR tanggal 1-9 November 2001. Menghasilkan perubahan penting mengenai sistem pemilihan presiden dan wakil presiden. Pasal 6 yang semula berisi syarat-syarat calon presiden dan wakil presiden diubah dan ditambahkan dengan Pasal 6A yang mengatur mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat.
Pasal 6A ayat (1) berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.” Ayat ini menandai perubahan besar dari sistem pemilihan presiden dan wakil presiden yang sebelumnya dilakukan oleh MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Dengan adanya ayat ini, kedaulatan rakyat dalam menentukan pemimpin negara semakin diperkuat.
Megawati Soekarnoputri sendiri merupakan salah satu tokoh yang mendukung amandemen UUD 1945, khususnya mengenai pemilihan presiden secara langsung.
Dia berpendapat bahwa sistem pemilihan langsung lebih demokratis, transparan, dan akuntabel daripada sistem pemilihan oleh MPR yang rentan terhadap intervensi politik.
Mega juga menganggap, sistem pemilihan langsung lebih sesuai dengan semangat reformasi yang menghendaki perubahan dari otoritarianisme ke demokrasi.
Meskipun demikian, Mega menghadapi tantangan dan kritik dalam proses amandemen UUD 1945. Salah satu tantangan adalah menyeimbangkan kepentingan antara partai politik, lembaga negara, dan rakyat dalam merumuskan perubahan konstitusi.
Selain itu, ia juga dikritik oleh sebagian pihak yang menganggap bahwa amandemen UUD 1945 terlalu tergesa-gesa, tidak melibatkan partisipasi publik yang luas, dan tidak mempertimbangkan implikasi jangka panjang dari perubahan-perubahan tersebut.
Megawati Soekarnoputri merupakan saksi sejarah dari amandemen UUD 1945 yang merupakan salah satu warisan reformasi bagi Indonesia. Ia berperan aktif dalam mendorong perubahan-perubahan konstitusional yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas demokrasi dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Rakyat Memilih Pemimpin
Perubahan sistem pemilihan ini merupakan salah satu tuntutan reformasi yang terjadi pada tahun 1998. Rakyat menginginkan pemimpin yang lebih demokratis, transparan, dan akuntabel. Mereka juga mengharapkan adanya check and balance antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Dari enam partai pengusung, terbentuk lima pasangan calon presiden dan wakil presiden yang bertarung dalam pilpres putaran pertama pada 5 Juli 2004. Mereka adalah:
Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi (PDI-P dan PKB)
Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (Demokrat dan PKS)
Wiranto-Salahuddin Wahid (Golkar)
Amien Rais-Siswono Yudhohusodo (PAN dan PBB)
Hamzah Haz-Agum Gumelar (PPP)
Pemilu Dua Putaran
Hasil pilpres putaran pertama menunjukkan bahwa tidak ada satu pun pasangan calon yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara sah nasional. Dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Syarat ini diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Oleh karena itu, dilakukan pilpres putaran kedua pada 20 September 2004, antara dua pasangan calon yang mendapatkan suara terbanyak pertama dan kedua dalam pilpres putaran pertama. Mereka adalah Megawati-Hasyim dan Susilo-Kalla.
Pada pilpres putaran kedua, pasangan Susilo-Kalla berhasil unggul dengan perolehan suara sebesar 60,62 persen atau setara dengan 69.266.350 suara. Sementara itu, pasangan Megawati-Hasyim hanya mendapatkan 39,38 persen suara atau setara dengan 44.990.704 suara.
Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla pun resmi menjadi presiden dan wakil presiden RI periode 2004-2009 setelah dilantik oleh MPR pada 20 Oktober 2004. Mereka menjadi pemimpin pertama yang dipilih langsung oleh rakyat dalam sejarah Indonesia. Mereka juga menjadi pemimpin yang berasal dari luar partai politik besar seperti Golkar dan PDI Perjuangan.
Pemilu 2004 dianggap sebagai pemilu yang berhasil mengembalikan kedaulatan rakyat dalam menentukan nasib bangsa. Pemilu ini juga menunjukkan bahwa Indonesia telah menjadi negara demokrasi yang matang dan beradab.
Namun, pemilu 2004 juga menimbulkan beberapa masalah dan tantangan. Salah satunya adalah biaya politik yang tinggi. Menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU), biaya penyelenggaraan pemilu 2004 mencapai 4,3 triliun rupiah. Selain itu, ada juga dugaan praktik politik uang dan kampanye hitam yang merusak nilai-nilai demokrasi.
Pemilu 2004 juga menimbulkan perubahan dalam dinamika politik Indonesia. Dengan sistem presidensial yang langsung dipilih oleh rakyat, presiden memiliki legitimasi yang kuat untuk menjalankan pemerintahan. Namun, presiden juga harus berhadapan dengan parlemen yang didominasi oleh partai-partai oposisi. Hal ini menuntut adanya kerjasama dan komunikasi yang baik antara eksekutif dan legislatif.
Pemilu 2004 merupakan tonggak sejarah bagi Indonesia dalam perjalanan demokrasinya. Pemilu ini membuka peluang bagi siapa saja yang memiliki visi dan misi untuk memimpin bangsa ini. Pemilu ini juga memberikan pelajaran bagi rakyat Indonesia untuk lebih kritis dan cerdas dalam memilih pemimpinnya. (Mul/Klausa)