Samarinda, Klausa.co – Polresta Samarinda masih menindaklanjuti surat terbuka yang sebelumnya dilayangkan Koalisi Dosen Universitas Mulawarman (Unmul), Kamis (21/10/2021) lalu.
Salah satunya melakukan pemantauan kegiatan pertambangan ilegal yang terjadi di Desa Muang, Lempake.
Hal tersebut disampaikan langsung oleh Kasatreskrim Polresta Samarinda Kompol Andika Dharma Sena, ketika dikonfirmasi media ini.
“Sampai saat ini kami pantau (tambang ilegal) yang terjadi di Muang itu. Kalau ada kegiatan di sana maka akan kita tindaklanjuti,” ungkapnya melalui sambungan telepon.
Andhika, sapaan karib perwira polisi dengan satu melati di pundaknya itu menyebutkan, bahwa tambang ilegal yang terjadi di Desa Muang tidak termasuk di dalam isi petisi para akademisi.
Hanya saja, kejahatan mengeruk emas hitam tersebut menjadi salah satu isu yang ikut dibahas. Oleh perwakilan 85 koalisi dosen di dalam pertemuan tersebut.
“Ini masuk dalam informasi. Maka selanjutnya kita lakukan pemantauan,” terangnya.
Andhika bahkan menegaskan, kendati hal tersebut masih sebatas informasi, namun pihaknya sudah bisa menindak tegas pelaku tambang ilegal tersebut.
“Ya berawa dari informasi ini ‘kan sudah bisa di tindak. Apabila ditemukan aktivitas disana, ya pasti kita tindak,” tegasnya.
Dibeberkannya, bahwa isi didalam surat terbuka Koalisi Dosen Unmul memaparkan sejumlah data ataupun dampak pertambangan ilegal yang terjadinya di keseluruhan Kaltim.
“Didalam surat terbuka itu tidak hanya bicara tambang ilegal yang di Muang, tapi yang ada di Kaltim. Di Samarinda, Kukar dan lain-lain,” ucapnya.
“Jadi untuk di Samarinda, di Muang itu, kalau memang ada aktivitas tambang ilegal kita tindak lanjut,” tandasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Koalisi Dosen Unmul menyampaikan surat terbuka secara langsung. Sekaligus mendorong penegakan hukum. Surat terbuka ini juga tindak lanjut dari petisi yang sebelumnya ditujukan ke Kapolri.
Di mana 85 dosen dari seluruh Fakultas Unmul itu menyatakan Polri lamban merespon ataupun menindak pertambangan Ilegal. Terdapat tiga poin penting yang disampaikan kepada Polri.
Pertama berupa hasil kajian berbasis penelitian mahasiswa dan dosen Unmul. Dari data penelitian tersebut, terungkap bahwa Kaltim saat ini tengah darurat tambang ilegal.
Kemudian yang kedua, terkait dampak pertambangan ilegal. Selain dirasakan masyarakat, kondisi itu juga berdampak langsung oleh Unmul.
Berdasarkan hasil investigasi pada 7 September 2021, aktivitas tambang ilegal diduga turut merusak laboratorium pertanian milik Fakultas Pertanian Unmul.
Fasilitas itu berada di Desa Teluk Dalam, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara. Kebun itu dijadikan tempat penyimpanan batu bara. Sedangkan pertambangan ilegal itu tak jauh dari sana.
Kemudian di dalam poin ketiga surat terbuka. Disebutkan bahwa Koalisi Dosen Unmul telah mendapatkan laporan dari masyarakat hingga suplai data dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Mereka menemukan ratusan tambang ilegal yang sifatnya merusak lingkungan. Salah satunya seperti yang nampak terjadi di kawasan Muang, Kelurahan Lempake, Kecamatan Samarinda Utara.
Bukan itu saja, informasi dihimpun menyebutkan, dalam kurun waktu 2018 hingga 2021 terdapat 151 titik Pertambangan Tanpa Izin (Peti).
Lokasi itu tersebar di wilaya Kabupaten Kutai Kartanegara sebanyak 107 titik, Kota Samarinda 29 titik, Kabupaten Berau 11 titik dan Kabupaten Penajam Paser Utara 4 titik.
Menyeruaknya dugaan tambang ilegal di Desa Muang ini berawal dari terjadinya banjir lumpur dan serpihan batu bara, pada 3 September 2021 silam.
Didaerah tersebut memang rutin diterjang banjir beberapa tahun terakhir, setelah dirambah aktivitas tambang batubara ilegal sejak 2016.
Akibatnya, area yang pernah menjadi lumbung padi Kota Tepian itu perlahan rusak. Sumber air bersih pun menipis. Keresahan warga Muang membuncah pada 25 September lalu.
Kala itu warga menghadang 15 truk yang hendak hauling. Seminggu setelahnya para pelaku tambang melakukan negosiasi dengan warga beberapa kali.
Namun warga kekeuh menolak. Ramai-ramai membuat petisi baik secara tertulis maupun menggunakan baliho.
Setelah kejadian tersebut, warga kerap mendapatkan intimidasi dari komplotan penambang. Warga dibuat resah dengan orang-orang tak dikenal mengawal aktivitas tambang.
(Tim Redaksi Klausa)