Klausa.co

Pemkot Samarinda Kritik Sistem Penagihan BPJS, AH: Bebani Daerah, Kurang Akuntabel

Wali Kota Samarinda, Andi Harun. (Foto: Yah/Klausa)

Bagikan

Samarinda, Klausa.co – Wali Kota Samarinda, Andi Harun, melontarkan kritik tajam terhadap sistem penagihan iuran BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Ia menyebut mekanisme yang diterapkan selama ini tidak hanya membebani daerah, tetapi juga menciptakan ketidakpastian dalam perencanaan anggaran.

“BPJS Kesehatan menggunakan estimasi kelahiran bayi sebagai dasar penagihan. Ini sama sekali tidak berbasis data riil dan akhirnya merugikan keuangan daerah,” ujar AH, sapaan akrabnya, saat ditemui di Balai Kota Samarinda.

Ia menjelaskan, sistem estimasi tersebut cenderung spekulatif. Sebagai contoh, estimasi seribu bayi lahir langsung dikalikan dengan besaran iuran per bayi. Masalahnya, bayi-bayi tersebut belum tentu lahir. Akibatnya, daerah harus menanggung beban keuangan yang sebenarnya tidak ada.

Baca Juga:  Andi Harun Tinjau SD 014 Tanah Merah, Siapkan Relokasi dan Renovasi Sekolah

Penerapan sistem ini meninggalkan jejak utang yang cukup signifikan. Pada tahun 2024, Samarinda harus mengalokasikan Rp17 miliar untuk menutupi utang BPJS Kesehatan. Utang ini akhirnya dimasukkan ke dalam APBD 2025 karena tidak ada anggaran yang tersedia pada tahun berjalan.

“Utang seperti ini sangat mengganggu fokus kami dalam menjalankan program prioritas pembangunan. Kami harus terus mengatur ulang strategi anggaran demi menutupi hal-hal yang sifatnya tidak terduga,” ungkap AH.

Selain itu, ia menyayangkan sikap BPJS yang memiliki kewenangan melaporkan keterlambatan pembayaran ke Kementerian Keuangan, yang bisa berdampak pada pemotongan Dana Alokasi Umum (DAU).

“Pendekatan ini bukan solusi, justru menekan daerah yang sudah memiliki keterbatasan fiskal. Seharusnya BPJS menggandeng pemerintah daerah untuk mencari solusi bersama, bukan malah menciptakan tekanan tambahan,” tegasnya.

Baca Juga:  Sistem Parkir Nontunai Sambangi Teras Samarinda, Pengunjung Kini Lebih Cepat dan Praktis

Tak hanya BPJS Kesehatan, Pemkot Samarinda juga menghadapi tantangan serupa dari BPJS Ketenagakerjaan. Kewajiban membayar 5 persen dari total kesejahteraan pegawai, termasuk gaji dan tunjangan, menjadi beban tambahan bagi daerah.

“Setiap ada peningkatan kesejahteraan pegawai, otomatis iuran meningkat. Ini membuat ruang fiskal kami semakin sempit,” jelas AH.

Ia menambahkan, daerah dengan kapasitas fiskal terbatas sering kali kesulitan memenuhi kewajiban tersebut, terutama ketika prioritas pembangunan lain juga membutuhkan alokasi anggaran besar.

Guna mengatasi persoalan ini, AH berencana membawa isu tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Koordinasi dan Supervisi Pencegahan (Korsupgah) Wilayah IV. Selain itu, Pemkot Samarinda akan berkonsultasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Kementerian Dalam Negeri.

Baca Juga:  Teras Samarinda Tahap I Hampir Rampung, Tapi Lahan Parkirnya Bagaimana?

“Kami ingin ada panduan yang jelas agar masalah ini dapat diselesaikan dengan adil dan transparan. BPJS juga harus melibatkan pemerintah daerah dalam proses perhitungan iuran,” tegasnya.

Sebagai solusi, AH mengusulkan agar penagihan BPJS didasarkan pada data riil yang diperoleh di akhir tahun. Pendekatan ini dinilai lebih akurat dan mampu menciptakan keadilan dalam sistem penagihan.

“Jika berbasis data riil, kami bisa menyusun anggaran dengan lebih baik. Tidak ada lagi kekhawatiran terhadap utang yang muncul tiba-tiba,” pungkasnya. (Yah/Fch/Klausa)

Bagikan

.

.

Anda tidak berhak menyalin konten Klausa.co

Search
logo klausa.co

Afiliasi :

PT Klausa Media Indonesia

copyrightⓑ | 2021 klausa.co