Samarinda, Klausa.co – Di Senyiur Ballroon, Hotel Bumi Senyiur, Samarinda, Sabtu siang (9/11/2024), Hetifah Sjaifudian, Ketua Komisi X DPR RI, mengajak para pendidik untuk merenungi peran mereka dalam menyiapkan generasi masa depan. Namun, sorotannya kali ini bukan hanya pada kecerdasan akademis atau prestasi di kelas, melainkan pada isu yang marak dibicarakan, yakni soal kesehatan mental anak-anak Indonesia.
Workshop Pendidikan yang digelar dengan tema “Peran Pendidik dalam Penyiapan SDM untuk Indonesia Emas 2045” itu menggaungkan urgensi kesehatan mental yang jarang dibahas. Hetifah mengangkat fakta, bahwa angka depresi dan bahkan kasus bunuh diri di kalangan anak muda kian meningkat. Baginya, ini bukan sekadar statistik, tetapi alarm bagi seluruh elemen masyarakat, terutama para pendidik untuk bergerak.
“Peran pendidik itu sangat fundamental, bukan hanya mencetak siswa yang cerdas di atas kertas, tapi juga memastikan mereka tumbuh di lingkungan yang sehat secara mental,” tegas Hetifah.
Ia menyambut baik asesmen nasional yang kini bukan hanya menilai prestasi belajar, tetapi juga lingkungan sekolah, toleransi, dan upaya pencegahan perundungan. Langkah ini, menurutnya, adalah kunci untuk membentuk generasi yang tangguh secara mental.
Hetifah juga mengungkapkan, banyak tekanan yang dirasakan anak justru datang dari rumah. Mereka sering kali kesulitan mengungkapkan masalah mental kepada orang tua, dan sayangnya, respons orang tua malah membuat mereka semakin tertekan.
“Saya sering mendengar cerita dari anak-anak muda tentang beban yang mereka alami. Alih-alih mendukung, respons orang tua kadang malah memperkeruh keadaan, dengan menganggap masalah mental ini bisa selesai hanya dengan lebih banyak berdoa,” kata Hetifah.
Menurutnya, perubahan ini harus dimulai dari rumah dengan melibatkan orang tua. Para orang tua harus memahami bahwa kesehatan mental anak tidak kalah penting dibanding nilai-nilai akademis.
Namun, Hetifah tidak hanya berhenti di sana. Ia juga mendorong agar materi bimbingan konseling menjadi bagian integral dalam pendidikan profesi guru.
“Tidak hanya guru bimbingan konseling yang perlu punya pemahaman soal ini. Semua guru harus memiliki kemampuan dasar konseling agar mereka bisa lebih peka dan tanggap terhadap kondisi mental siswa,” tambahnya.
Di akhir paparannya, Hetifah menggarisbawahi pentingnya pendidikan mental yang menyeluruh. Ia berharap ke depannya pendidikan khusus bagi orang tua tentang kesehatan mental anak bisa menjadi bagian dari kebijakan nasional.
“Pendidikan bukan hanya tentang angka-angka di rapor, tetapi juga tentang jiwa-jiwa yang sehat. Kita ingin anak-anak Indonesia tumbuh menjadi generasi yang tangguh dan bahagia. Untuk itu, orang tua perlu diberi pemahaman yang tepat agar mereka menjadi pendukung utama, bukan sekadar menuntut anak di ranah akademis,” pungkas Hetifah.
Dengan semangat ini, Hetifah seakan mengajak kita semua untuk bersama-sama menjaga generasi penerus bangsa. Merekalah yang kelak akan mengantarkan Indonesia menuju masa depan emas 2045. (Nur/Fch/Klausa)