Jakarta, Klausa.co – Presiden Joko Widodo atau Jokowi menanggapi isu dinasti politik terkait putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menghapus syarat umur capres-cawapres dengan mengatakan bahwa semua tergantung pada rakyat. Namun, pernyataan ini dinilai sebagai upaya untuk menutupi pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh MK.
Putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, yang disebut-sebut sebagai calon wakil presiden di Pilpres 2024, juga mengeluarkan pernyataan serupa. Gibran mengatakan bahwa ia tidak memikirkan pencawapresan dan menyerahkan semua keputusan kepada rakyat.
Namun, pernyataan Jokowi dan Gibran ini menuai kritik dari berbagai pihak. Salah satunya adalah Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion Dedi Kurnia Syah, yang mengatakan bahwa Jokowi dan Gibran sedang mempermainkan konstitusi.
“Jokowi dan Gibran secara teknis benar, memang semua tergantung rakyat, hanya saja rakyat itu mereka tafsir sebatas kertas suara, dan kertas suara sepanjang kekuasaan oligarki memimpin, punya akses yang mendapatkan kertas suara lebih dulu sebelum sampai ke tangan rakyat yang sesungguhnya,” tegas Dedi di Jakarta, Jumat (17/11/2023).
Dedi menambahkan bahwa Jokowi dan Gibran juga memanfaatkan nama rakyat untuk memaksa mendapatkan legitimasi yang menguntungkan keduanya saja, tanpa memberikan jalan terbaik bagi demokrasi. Dedi juga mengkritik netralitas aparatur negara yang kian diragukan.
“Belum lagi dengan kekuasaan yang dimiliki, Jokowi bisa saja ‘mengatur’ jalannya dan mempergunakan perangkat negara. Belum lagi soal netralitas aparatur negara yang kian diragukan. Artinya Gibran juga Jokowi pada dasarnya sedang mempermainkan konstitusi,” ujarnya.
Dedi menyerukan adanya gerakan dari kalangan terpelajar untuk menghentikan gerakan oligarki Jokowi. Menurutnya, rakyat Indonesia sejauh ini masih didominasi oleh rakyat penerima hasil, bukan rakyat yang menentukan hasil.
“Perlu ada gerakan kelas terpelajar untuk menghentikan gerakan oligarki Jokowi. Rakyat hanya menerima hasil, rakyat Indonesia sejauh ini masih didominasi oleh rakyat penerima hasil, bukan rakyat yang menentukan hasil,” kata Dedi.
Gerakan oligarki Jokowi makin menjadi-jadi. Skandal “Mahkamah Keluarga”, dimana sudah diputuskan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) sebagai pelanggaran etika berat dan kejahatan karena membiarkan intervensi pihak luar ke dalam proses pembuatan Putusan Nomor 90 Mahkamah Konstitusi, tentang syarat umur capres-cawapres.
Sejumlah aktivis demokrasi, pegiat hukum, tokoh nasional dan masyarakat sipil tidak henti menggugat oligarki, menjaga demokrasi. Gugatan yang terbaru adalah mereka melaporkan pelanggaran administrasi kepada Badan Pengawas Pemilu RI.
Sementara itu, Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani mengatakan saluran hukum untuk gugatan tersebut sudah dikondisikan.
“MK-nya sudah dikondisikan, sehingga dia bisa menitipkan pesan dalam putusan yang sudah ada bahkan sebelum pemeriksaan,” kata Julius di Jakarta, Jumat (17/11/2023)
Menurut dia, dalam konteks Pilpres 2024, yang diserahkan pada masyarakat itu sudah barang jadi. Jadi masyarakat diminta untuk mencoblos, menentukan pilihan, sementara hasilnya sudah dipastikan dan sudah dikondisikan siapa yang menang.
“Sebab seluruh perangkat negara sudah dikondisikan untuk satu pemenang yang dikehendaki oleh Presiden Joko Widodo, makanya dia taruh anaknya di situ,” ungkapnya.
Orkestrasi Kekuasaan
Menurut Julius, isu pencawapresan Gibran Rakabuming Raka tidak lagi soal legitimasi dan keabsahan, karena semua sudah diputuskan Majelis Kehormatan MK.
“Ini soal orkestrasi lewat pelanggaran hukum, prosedural, dan pelanggaran etika dan moral publik karena ada nepotisme, dinasti yang menggunakan perangkat negara untuk merekayasa sehingga lahirlah putusan MK Nomor 90 yang menjadi dasar bagi pencapresan Gibran,” ujarnya.
Julius pun menyatakan pencawapresan Gibran sudah pasti pelanggaran hukum, pelanggaran prosedur, pelanggaran etika berat sudah pasti tidak terlegitimasi dan tidak sah, meskipun berlaku.
Pada titik ini, rakyat tidak punya pilihan lain selain memilih yang sudah dipilihkan.
“Jadi bukan pemilih yang menentukan, karena pemilih memilih di lembar kertas. Namun, Presiden Jokowi menciptakan sebuah rekayasa dengan segala kekuasaannya yang berujung pada kertas yang sudah ditentukannya juga. Artinya masyarakat disajikan pada pemilu yang rekayasa,” pungkas Julius. (Mar/Bob/Klausa)