Klausa.co – Menjelang Proklamasi 17 Agustus 1945 atau 80 tahun lalu, sejarah Indonesia menyimpan sosok asing yang sulit ditempatkan dalam kategori kawan atau lawan. Adalah Shigetada Nishijima, seorang intelijen Angkatan Laut Jepang. Latar belakangnya sebagai intel Jepang inilah yang membuatnya sulit masuk dalam grup sebagai kawan atau lawan. Dia masuk dalam kategori mata-mata, perantara, hingga penghubung kaum nasionalis Indonesia dengan Jepang.
Awal Kehidupan dan Jalan ke Indonesia
Nishijima lahir di Tokyo pada 4 Juni 1911. Sejak muda, ia dikenal memiliki kecenderungan politik kiri. Sejarawan Harry J. Benda dalam The Japanese Military Administration in Java (1965) menulis, “Nishijima muda dikeluarkan dari sekolah menengah karena simpati terhadap sosialisme, dan beberapa kali ditangkap pada 1930-an.” Ia bahkan sempat menjalani hukuman penjara selama dua tahun.
Selepas keluar, ia bekerja di pabrik es sebelum direkrut intelijen Angkatan Laut Jepang pada 1937 untuk misi di Laut Selatan. Menurut arsip Nishijima Collection di Universitas Waseda, penugasan itu membawanya ke Hindia Belanda, nama Indonesia kala itu. Di Jakarta dan Bandung, ia bekerja di jaringan toko dagang Jepang, sembari membangun relasi dengan nasionalis Indonesia.
Saat Jepang menyerang Asia Pasifik, Belanda menangkap orang-orang Jepang yang dicurigai. Nishijima ditangkap pada 8 Desember 1941 dan dikirim ke kamp Loveday di Australia Selatan. Dalam wawancara dengan Kompas (terbit pada 16 Agustus 2001), ia mengenang: “Saya lolos dari tuduhan mata-mata karena resmi tercatat hanya sebagai bussinessman atau pengusaha. Itu menyelamatkan saya.”
Tahun 1942, ia kembali ke Jawa lewat pertukaran tawanan. Ia kemudian bergabung dengan Kantor Penghubung Angkatan Laut Jepang di bawah Laksamana Muda Tadashi Maeda. Dari sinilah jalan hidupnya kian berkelindan dengan para tokoh pergerakan Indonesia.
Misi Rengasdengklok
Puncak peran Nishijima muncul pada malam genting 16 Agustus 1945. Soekarno dan Mohammad Hatta dibawa pemuda ke Rengasdengklok. Dalam The Genesis of Konfrontasi (1998), Greg Poulgrain mencatat bahwa Maeda mengutus Nishijima untuk menemukan mereka. Ia berhadapan dengan Wikana yang ngotot agar proklamasi segera dilakukan.
Nishijima kemudian berkata kepada para pemuda, sebagaimana dikutip Kompas (2001): “Maeda menjamin kemerdekaan akan berjalan. Jangan takut, beliau juga memastikan keselamatan Soekarno dan Hatta dari Kempeitai.”
Setelah berhasil memulangkan keduanya ke Jakarta, Nishijima memastikan perumusan naskah proklamasi bebas dari campur tangan militer Jepang.

menukar informasi mengenai hari-hari menjelang proklamasi kemerdekaan 17
Agustus 1945 (foto: Yuichiro (Yuji) lsobe)

kanan Laksamana Maeda, sahabat da-
lam perjuangan kemerdekaan bangsa
Indonesia
Dari Tahanan Perang ke Jembatan Diplomasi
Meski berjasa, nasib Nishijima pasca-proklamasi tidak langsung tenang. Pada Desember 1946 ia ditangkap sebagai tersangka penjahat perang. Banyak pejabat dan personel Jepang yang pernah bertugas di Asia Tenggara diperlakukan sebagai “suspect war criminal” oleh pihak Sekutu. Hal ini dilakukan untuk memastikan apakah mereka terlibat dalam kejahatan perang, seperti kekerasan terhadap tawanan, kerja paksa, atau tindakan represif terhadap rakyat sipil.
Shigetada Nishijima termasuk yang dicurigai. Menurut catatan Harry J. Benda dalam The Japanese Military Administration in Java (1965), Nishijima ditangkap pada Desember 1946 (kemudian proses hukumnya berlangsung hingga 1947) bersama beberapa perwira Jepang lainnya di Jakarta. Tuduhannya bukan spesifik karena keterlibatan dalam kekerasan, melainkan karena posisinya sebagai anggota intelijen Angkatan Laut Jepang yang pernah berperan aktif di masa pendudukan.
Namun, berbeda dengan pejabat militer lain yang jelas terlibat operasi represif, kasus Nishijima tidak kuat. Dalam wawancara dengan Kompas (2001), ia mengenang, “Saya dituduh sebagai penjahat perang, padahal selama di Indonesia saya lebih banyak berhubungan dengan kaum pergerakan. Untunglah bukti yang diajukan tidak ada.”
Akhirnya, Nishijima dibebaskan tanpa hukuman berat dan dipulangkan ke Jepang. Berbeda dengan perwira Jepang lain seperti Kenpeitai (polisi rahasia) yang memang dihukum karena kekejaman, Nishijima justru dinilai tidak punya catatan buruk terhadap rakyat Indonesia.
Namun pengadilan membebaskannya dan ia dipulangkan ke Jepang. Poulgrain menulis bahwa pada 1953 Nishijima kembali ke Jakarta, menemui Soekarno untuk membicarakan reparasi perang sekaligus membuka pintu kerja sama ekonomi.
Perannya makin luas. Ia menjembatani hubungan tokoh Indonesia seperti Adam Malik dan Ibnu Sutowo dengan jaringan bisnis Jepang, termasuk Kobayashi Group. Dari sinilah lahir proyek ladang minyak di Sumatera Utara hingga negosiasi soal Papua Barat.
Jejak Sebagai Akademisi di Waseda University
Selain diplomasi, Nishijima menempuh jalur akademik. Ia memimpin Kelompok Studi Indonesia di Universitas Waseda, dan menyumbangkan arsip pribadinya, Nishijima Collection. Dalam salah satu tulisannya, ia menegaskan: “Sejarah tidak pernah hitam atau putih. Saya hanya berada di antara dua bangsa yang sedang mencari jalan.” (Kompas, 2001).
Greg Poulgrain menilai, “Siapa pun yang mengizinkan Nishijima kembali ke Indonesia setelah perang, berarti juga memberi kontribusi pada berdirinya Republik Indonesia.”
Ketika ia kembali ke Jakarta pada 1991, sambutan yang ia terima bak pahlawan. Namun sejarah tetap menempatkannya di wilayah abu-abu. Bukan sekutu penuh, bukan pula penjajah murni. Nishijima akhirnya mengembuskan napas terakhir pada 9 Desember 2006, di usia 95 tahun.
Sumber:
– Harry J. Benda, The Japanese Military Administration in Java: Selected Documents. Yale University Press, 1965.
– Greg Poulgrain, The Genesis of Konfrontasi: Malaysia, Brunei, Indonesia, 1945–1965. London: Hurst & Company, 1998.
– Wawancara Shigetada Nishijima dengan Kompas, terbit 16 Agustus 2001.
-Arsip “Nishijima Collection,” Universitas Waseda, Tokyo.
-A. Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa, 1942–1945. Jakarta: Gramedia, 1993.
(Din/Fch/Klausa)