Klausa.co

Sejarah 29 Mei 2006: Bocornya Sumur Gas PT Lapindo Brantas, Penyebab Bencana Semburan Lumpur Panas Terbesar di Indonesia

Bencana lumpur panas Lapindo yang terjadi di Porong, Sidoarjo (Sumber: Google)

Bagikan

Klausa.co – pada 29 Mei 2006, atau 17 tahun lalu, sebuah bencana yang diduga akibat kelalaian manusia terjadi di Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur (Jatim). Semburan lumpur panas yang kini dikenal bencana lumpur lapindo. Bencana ini bermula dari kebocoran sumur pengeboran gas milik PT Lapindo Brantas.

Kejadian ini disebut-sebut sebagai bencana akibat semburan lumpur terbesar di Indonesia. Sebab, setelah 17 tahun berlalu, sumur pengeboran gas masih memuntahkan lumpur panas.

Lumpur lapindo telah menenggelamkan kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian sejumlah kecamatan di Sidoarjo dan memengaruhi aktivitas perekonomian di Jatim. Banyak warga yang menjadi korban dan harus meninggalkan rumah mereka yang diterjang lumpur.

Beberapa waktu lalu, Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan bahwa lumpur lapindo memiliki potensi kandungan logam tanah jarang (rare earth) yang bernilai ekonomis tinggi.

Berikut penjelasan tentang kronologi, penyebab, dampak, dan penemuan logam tanah jarang di lumpur lapindo.

Kronologi Bencana Lumpur Lapindo

Bencana lumpur lapindo berawal dari kegiatan pengeboran gas oleh PT Lapindo Brantas di sekitar sumur Banjarpanji I di Dusun Balongnongo Desa Renokenongo dan Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Pada tanggal 29 Mei 2006 pukul 04.30 WIB, terjadi kebocoran gas dan lumpur panas menyembur dari sumur tersebut.

Lumpur panas dengan suhu sekitar 60 derajat celsius itu menyembur dengan tekanan tinggi dan tidak kunjung berhenti. Lumpur mulai menggenangi lahan pertanian dan pemukiman warga di sekitar lokasi.

Menurut data Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), semburan lumpur lapindo memiliki volume 100.000-150.000 meter kubik per hari atau 12.500 truk tangki per hari. Hingga kini, semburan lumpur lapindo masih berlangsung dan telah menutupi luas wilayah sekitar 6,5 kilometer persegi. Sebanyak 16 desa di tiga kecamatan di Sidoarjo terdampak oleh bencana ini.

Penyebab Bencana Lumpur Lapindo

Penyebab bencana lumpur lapindo masih menjadi perdebatan dan belum diperoleh kepastiannya. Ada dua teori yang dikemukakan oleh pihak Lapindo terkait hal ini. Pertama, semburan lumpur terjadi lantaran kesalahan prosedur saat pengeboran. Kedua, lumpur panas menyembur secara kebetulan saat pengeboran, tapi penyebabnya belum diketahui.

Selain dua teori itu, dugaan penyebab semburan lumpur panas adalah akibat proses panas bumi atau dipicu gempa bumi berkekuatan 5,9 Skala Richter di kawasan Yogyakarta dan sekitarnya, yang terjadi dua hari sebelum semburan muncul, yakni pada 27 Mei 2006.

Dampak Bencana Lumpur Lapindo

Dampak bencana lumpur lapindo sangat besar bagi warga yang tinggal di sekitar lokasi. Menurut data BPLS per Desember 2020, sebanyak 39.722 jiwa atau 11.491 kepala keluarga harus mengungsi akibat bencana ini. Mereka harus meninggalkan rumah mereka yang tenggelam oleh lumpur dan mencari tempat tinggal baru di daerah lain.

Selain itu, dampak bencana lumpur lapindo juga dirasakan oleh sektor pertanian, perindustrian, perdagangan, transportasi, pariwisata, dan lingkungan hidup di Sidoarjo dan Jawa Timur. Banyak lahan pertanian yang tidak bisa digarap lagi karena terendam lumpur. Beberapa pabrik dan toko juga harus tutup karena tergenang lumpur atau terisolasi oleh tanggul-tanggul yang dibangun untuk mengendalikan semburan lumpur.

Baca Juga:  Sejarah 24 Maret 1946 : Penyebab Terjadinya Peristiwa Bandung Lautan Api

Dampak bencana lumpur lapindo juga berpengaruh pada kondisi lingkungan hidup di sekitar lokasi. Lumpur lapindo mengandung berbagai zat kimia yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya. Beberapa zat kimia tersebut adalah arsenik, merkuri, timbal, sianida, amonia, metana, sulfida hidrogen, karbon monoksida, karbon dioksida, radon, toron, polonium-210 dan radium-226.

Penyelesaian Permasalahan Sosial Bencana Lumpur Lapindo

Untuk menyelesaikan permasalahan sosial akibat bencana lumpur lapindo, pemerintah telah memberikan dana talangan kepada PT Lapindo Brantas untuk membayar ganti rugi kepada warga korban bencana. Pada Maret 2007, pemerintah dan PT Lapindo Brantas menandatangani perjanjian tentang penyelesaian masalah sosial akibat semburan lumpur.

Perjanjian tersebut mengatur bahwa PT Lapindo Brantas harus membayar ganti rugi kepada warga korban bencana sebesar 80 persen dari nilai tanah dan bangunan mereka berdasarkan nilai jual objek pajak (NJOP). Selain itu, PT Lapindo Brantas juga harus memberikan uang sewa rumah kepada warga korban bencana selama dua tahun dengan nilai Rp 300 ribu per bulannya.

Namun hingga kini, masih banyak warga korban bencana yang belum menerima ganti rugi secara penuh dari PT Lapindo Brantas. Pemerintah mencatat, sampai dengan 31 Desember 2021, total utang Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya, perusahaan milik keluarga Aburizal Bakrie telah mencapai Rp2,23 triliun. Utang tersebut berasal dari dana talangan yang diberikan pemerintah untuk ganti rugi bencana alam Lumpur Lapindo melalui perjanjian pada Maret 2007.

Namun utang yang ditarik dari pemerintah sebesar Rp773, 38 miliar belum dilunasi hingga kini. Utang tersebut terus membengkak dengan bunga dan denda keterlambatan pengembalian pinjaman. Pemerintah masih mencari formula yang tepat untuk menagih utang perusahaan milik keluarga Bakrie tersebut.

Penemuan Logam Tanah Jarang di Lumpur Lapindo

Pada Agustus 2019, Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan makalah berjudul ‘Potensi Logam Tanah Jarang di Indonesia’. Istilah logam tanah jarang, atau terjemahan dari rare earth element (REE) mulanya didasarkan pada asumsi awal bahwa keberadaannya langka.

Makalah itu mengungkapkan, lumpur lapindo memiliki potensi kandungan REE yang bernilai ekonomis tinggi. Logam tanah jarang adalah 17 unsur kimia yang terjadi bersama-sama dalam tabel periodik, terletak di tengah tabel periodik (nomor atom 21, 39, dan 57-71). Logam tanah jarang memiliki sifat fluoresen, konduktif, dan magnet yang tidak biasa.

Hal itu membuatnya sangat berguna ketika dicampur dalam jumlah kecil dengan logam yang lebih umum seperti besi. Logam tanah jarang juga dibutuhkan dalam pengembangan kendaraan listrik (electric vehicle/EV).

Baca Juga:  Sejarah 28 Juli 1914 : Sebulan Pasca Tewasnya Putra Mahkota Austria, Menjadi Pemicu Meletusnya Perang Dunia I

Lumpur lapindo diklaim memiliki potensi kandungan logam tanah jarang antara 0, 1-0, 2 persen dari total volume lumpurnya. Jika diasumsikan volume lumpurnya mencapai 100 juta meter kubik, maka potensi logam tanah jarangnya bisa mencapai 100-200 ribu ton. Nilai ekonomis logam tanah jarang sangat tinggi karena permintaannya terus meningkat di pasar global.

Namun hal itu terbantah pada 2002. Badan Geologi dan ahli dari Universitas Airlangga (Unair) mengungkap, kandungan REE di Lumpur Lapindo pada awal 2022 berdasarkan pengeboran pada kedalaman 5 meter.

Eko Budi Lelono, Kepala Badan Geologi, pada Januari 2022 mengungkap, “Dari hasil analisis laboratorium, kadar logam tanah jarang cukup rendah, dengan kadar tertinggi pada unsur Cerium (Ce).”

Pihaknya juga menemukan mineral lain yang termasuk mineral kritis (Critical Raw Mineral/CRM), di antaranya Litium dan Stronsium. Dikutip dari situs Institut Teknologi Surabaya (ITS), CRM merupakan sekelompok mineral yang ketersediaannya kian terbatas dan dapat digunakan untuk inovasi teknologi berbasis energi bersih dan terbarukan.

Di antaranya, LTJ, gallium (Ga), indium (In), tungsten (W), platinum (Pt), palladium (Pd), kobalt (Co), niobium (Nb), magnesium (Mg), molybdenum (Mo), antimoni (Sb), lithium (Li), vanadium (V), nikel (Ni), tantalum (Ta), tellurium (Te), kromium (Cr) dan mangan (Mn).

Namun, Eko menyebut kandungan CRM di Lumpur Lapindo tak banyak. Litium (Li), misalnya, kadarnya 99,26 hingga 280,46 ppm (part per million, perbandingan zat terlarut dan pelarutnya); Stronsium (Sr) kadarnya 255,44 hingga 650,49 ppm.

Pada kesempatan terpisah, Eko mengungkap wilayah lain di Indonesia memiliki kandungan REE lebih besar.

“Memang logam tanah jarang yang ada di Indonesia itu kami identifikasi keberadaannya tersebar di beberapa lokasi. Kalau di Lapindo ada, tapi konsentrasinya tidak terlalu besar. Di tempat lain kami identifikasi, di Sumatera Utara dan Bangka Belitung itu cukup besar,” kata dia, pada Rabu, 13 April 2022.

Laporan itu diperkuat dalam laporan Menteri ESDM yang menjabat pada 2022 Arifin Tasrif kepada Komisi VII DPR RI. Pada 21 November 2022, kepada DPR Arifin mengakui, kandungan REE, termasuk litium, di lumpur lapindo relatif kecil. Angkanya tak bisa memenuhi kebutuhan industri.

“Kontennya sangat kecil dibanding deposit yang ada. Lithium hanya di bawah 1.000 ton dengan kadar kurang lebih beberapa ppm per ton. Kemudian stronsium juga relatif sangat kecil,” ungkap dia, dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR RI.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur Wahyu Eka Setyawan malah menyebut REE dalam lumpur lapindo sebagai kutukan. Sebutan harta karun untuk temuan kandungan REE di lumpur lapindo hanya sekadar framing.

Berdasarkan penelitian sejak 2006, saat lumpur menyembur, hingga 2008, pihaknya malah menemukan kandungan logam berat jenis Kadmium rata-rata 0,30 g3 mg/L, dan

Timbal 7,2876 mg/L. Kandungan ini ratusan kali lebih besar di atas ambang batas aman bagi lingkungan.

Baca Juga:  Dinilai Melanggar Izin Konsesi Tambang, AMLT Desak Pemerintah Cabut Izin PT SBE

“Framing pemberitaan menyebutkan temuan ini sebagai harta karun dan berkah tersembunyi dalam lumpur Lapindo. Tapi yang tidak disadari adalah bahwa temuan berbagai jenis logam berat dalam lumpur Lapindo telah lama menjadi kutukan bagi warga Kecamatan Porong, Tanggulangin, dan Jabon,” tegas Wahyu.

Berapa Lama Bencana Lumpur Lapindo Akan Berlangsung?

Tidak ada yang bisa memastikan berapa lama bencana lumpur lapindo akan berlangsung. Para pakar memperkirakan semburan lumpur PT Lapindo Brantas di Porong Sidoarjo, masih akan berlangsung hingga 30-an setelah pertama kali memuntahkan lumpur.

Menurut Profesor Jim Mori, Pakar Bencana Alam, dari Universitas Kyoto, sampai sekarang, tidak ada teknologi yang mampu menghentikan semburan lumpur yang menyembur sejak Mei 2006 lalu. Sejumlah ahli geologi memperkirakan fenomena semburan masih akan berlangsung lebih dari puluhan tahun.

“Sangat sulit untuk menghentikannya pada saat ini. Satu hal yang perlu dilakukan sekarang, mencari tahu berapa besar volume air atau lumpur dan kecepatan alirannya di bawah sana. Kalau saja kita tahu berapa banyaknya, kita bisa tahu berapa lama lagi bisa dihentikan. Saat ini kita belum tahu banyaknya. Mungkin beberapa tahun ke depan, itu dugaan kami. Malah mungkin sampai 30 tahun ke depan,” tulis Mori dalam jurnalnya.

Studi yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 2010 memperkirakan bahwa semburan lumpur lapindo akan berlangsung hingga 2037 alias 31 tahun. Studi ini menggunakan metode analisis data seismik dan geologi untuk mengetahui volume dan tekanan lumpur di bawah permukaan.

Sementara itu, studi Universitas Airlangga (Unair) pada tahun 2012 memperkirakan bahwa semburan lumpur lapindo akan berlangsung hingga 2050 alias 45 tahun. Studi ini menggunakan metode analisis data kimia dan fisika untuk mengetahui sifat dan karakteristik lumpur.

Sementara itu, studi yang dilakukan oleh Universitas Brawijaya (UB) pada tahun 2013 memperkirakan bahwa semburan lumpur lapindo akan berlangsung hingga 2075. Dari studi tersebut diperkirakan, durasi semburan lumpur lapindo mencapai 69 tahun. Studi ini menggunakan metode analisis data hidrologi dan hidrodinamika untuk mengetahui aliran dan distribusi lumpur.

Dari studi-studi tersebut, dapat dilihat bahwa perkiraan berapa lama lumpur lapindo terjadi bervariasi antara 30-70 tahun ke depan. Hal ini tergantung pada metode dan asumsi yang digunakan oleh para peneliti. Namun, semua studi tersebut sepakat bahwa semburan lumpur lapindo masih akan berlangsung dalam waktu yang cukup lama dan sulit untuk dihentikan.

Sementara itu, pihak Lapindo Brantas telah mencoba berbagai cara untuk menghentikan semburan lumpur, namun tidak berhasil. Beberapa cara yang pernah dilakukan antara lain adalah menutup sumur dengan beton, menimbun lubang dengan bola baja dan rantai besi, menyuntikkan lumpur dengan bahan kimia pengental, dan mengalirkan lumpur ke Sungai Porong. Namun, semua upaya tersebut tidak mampu mengatasi tekanan gas dan lumpur yang terus meningkat. (Fch2/Klausa)

Bagikan

.

.

Search
logo klausa.co

Afiliasi :

PT Klausa Media Indonesia

copyrightⓑ | 2021 klausa.co