Samarinda, Klausa.co – SR, Direktur Utama PT RPB sejak 2010 hingga kini, ditetapkan sebagai tersangka. Jaksa Penyidik Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur (Kejati Kaltim) menetapkannya dalam dugaan korupsi pengelolaan keuangan Perusahaan Daerah (Perusda) Pertambangan Bara Kaltim Sejahtera (BKS) tahun 2017–2020. Negara diperkirakan mengalami kerugian hingga Rp21,2 miliar.
Penetapan status hukum SR diumumkan pada Rabu (12/2/2025). Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Kaltim, Toni Yuswanto, menegaskan, status tersangka ditetapkan setelah penyidik menemukan dua alat bukti yang cukup sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.
“SR merupakan tersangka ketiga dalam perkara ini,” ujar Toni, Kamis (13/2/2025).
Sebelumnya, penyidik lebih dulu menjerat IGS, Direktur Utama Perusda BKS periode 2016–2020, yang ditetapkan sebagai tersangka pada 22 Januari 2025. Tak lama berselang, NJ, Kuasa Direktur CV ALG, menyusul sebagai tersangka pada 4 Februari 2025.
SR kini telah mendekam di rumah tahanan. Jaksa menyatakan penahanan dilakukan untuk 20 hari ke depan.
“Ancaman pidana lebih dari lima tahun, ada potensi melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan mengulangi perbuatannya,” kata Toni merujuk pada Pasal 21 ayat (1) dan ayat (4) huruf a KUHAP.
Kasus ini bermula dari kerja sama jual beli batu bara yang dilakukan Perusda BKS dengan lima perusahaan swasta pada periode 2017–2019. Total dana yang dikucurkan mencapai Rp 25,8 miliar.
Namun, penyidik menemukan sejumlah kejanggalan. Kesepakatan bisnis itu ternyata tidak mengantongi restu dari badan pengawas dan gubernur sebagai Kuasa Pemilik Modal (KPM). Proposal kerja sama, studi kelayakan, rencana bisnis, hingga manajemen risiko absen dalam prosesnya.
“Akibatnya, kerja sama tersebut gagal total dan negara dirugikan Rp 21,2 miliar,” ungkap Toni.
Angka itu didapat dari laporan perhitungan kerugian negara oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Kaltim.
SR dan dua tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Regulasi itu telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Tak hanya itu, ketiganya juga disangkakan dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yang mengatur tentang perbuatan pidana yang dilakukan secara bersama-sama. (Wan/Fch/Klausa)