Jakarta, Klausa.co – Dilantiknya seorang mantan kontributor stasiun televisi menjadi Kapolsek Kradenan, Blora, Jawa Tengah pada Senin, 12 Desember 2022 mengundang tanggapan berbagai pihak. Bahkan Kabid Humas Polda Jawa Tengah Kombes Pol M Iqbal Al-Qudussy membenarkan, bahwa Umbaran Wibowo, seorang perwira berpangkat Inspektur Satu (Iptu) pernah menjadi kontributor pada salah satu stasiun televisi nasional di wilayah hukumnya. Dalam keterangan pers beberapa waktu lalu, Iqbal menyebut, Umbaran sebagai pewarta adalah tugas intelijen.
Ketua AJI Indonesia, Sasmito, menilai, penyusupan anggota Polri ke dalam institusi pers menyalahi aturan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 6 UU Pers menyebutkan, pers nasional memiliki peranan untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar. Serta melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Dan memperjuangkan keadilan dan kebenaran
Oleh sebab itu, kepolisian jelas telah menempuh cara-cara kotor dan tidak memperhatikan kepentingan umum dan mengabaikan hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi yang tepat, akurat dan benar.
“Oleh sebab itu, kepolisian jelas telah menempuh cara-cara kotor dan tidak memperhatikan kepentingan umum dan mengabaikan hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi yang tepat, akurat dan benar,” kata Sasmito dalam siaran pers di Jakarta tertanggal Jumat (16/12/2022).
Selain itu, lanjut dia, pers memiliki imunitas dan hak atas kemerdekaan dalam melakukan kerja-kerjanya. Dengan menyusupkan polisi pada media, Kepolisian juga telah mengabaikan hak atas kemerdekaan pers. Penyusupan ini juga bertentangan dengan Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang berbunyi “Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.”
Dalam kasus ini, Iptu Umbaran dan Polri jelas telah menyalahgunakan profesi wartawan untuk mengambil keuntungan atas informasi yang diperoleh saat bertugas menjadi wartawan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif LBH Pers, Ade Wahyudin menyebut, organisasi pers serta media juga seharusnya dapat berperan aktif dalam menelusuri latar belakang wartawan. Hal ini akan berdampak pada kredibilitas organisasi maupun media yang bersangkutan dalam mengemban tugasnya sebagai wadah pers karena tidak mampu menjamin profesi pers yang terbebas dari potensi intervensi aktor-aktor negara.
“Lolosnya anggota kepolisian sebagai wartawan yang tersertifikasi dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap institusi pers dan kerja-kerja pers secara umum,” jelasnya.
AJI dan LBH Pers memiliki beberapa tuntutan. Pertama,mendesak pemerintah khususnya Polri untuk menghentikan cara-cara kotor seperti menyusupkan anggota intelijen ke institusi media. Hal itu dirasa dapat mengganggu kinerja pers dan menimbulkan ketidakpercayaan publik.
Kedua, mendesak Dewan Pers untuk menyelidiki kasus ini hingga tuntas dan memberikan sanksi kepada Iptu Umbaran yang telah melanggar Kode Etik Jurnalistik. Dewan Pers juga perlu memperbaiki mekanisme Uji Kompetensi Wartawan agar peristiwa serupa tidak terulang pada masa mendatang.
Poin ketiga, mendorong Dewan Pers untuk memastikan aparat keamanan lain seperti TNI dan badan intelijen lainnya tidak melakukan cara-cara kotor seperti yang dilakukan Polri.
Keempat, mendorong organisasi pers untuk lebih aktif menelusuri latar belakang anggota. Dan melakukan verifikasi yang lebih komprehensif, kredibel terhadap anggotanya untuk mencegah penyusupan pihak-pihak yang dapat merugikan pers Indonesia.
Tuntutan terakhir, mendorong perusahaan media untuk melakukan seleksi yang lebih ketat dengan memperhatikan latar belakang wartawan.
(Mar/fch/klausa)
IKUTI BERITA KLAUSA LAINNYA DI GOOGLE NEWS