Jakarta, Klausa.co – Pembawa acara Raffi Ahmad berencana membangun beach club di Pantai Krakal, Yogyakarta. Namun, rencana itu menuai kontroversi karena berada di Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) yang dilindungi. Pengamat Hukum dan Kejaksaan, Fajar Trio, meminta Kejaksaan Agung mengawasi proses perizinan proyek tersebut agar tidak ada penyalahgunaan wewenang oleh pejabat daerah.
Dilansir dari JPNN.com, sebelumnya Raffi sudah bertemu dengan Bupati Gunungkidul Sunaryanta untuk peletakan batu pertama. Padahal, izin resmi belum keluar. Fajar mengatakan, Kejaksaan Agung harus mencegah terjadinya korupsi dalam pemberian izin.
“Kejaksaan Agung wajib mengawasi segala proses perizinan pembangunan Beach Club Raffi Ahmad yang berada di Pantai Krakal. Hal ini sebagai upaya pencegahan agar tidak terjadi tindak pidana korupsi berupa penyalahgunaan wewenang oleh pejabat setempat yang ditengarai memberikan izin proyek tersebut,” ujar Fajar di Jakarta, Rabu (3/1/2023).
Fajar menambahkan, proyek beach club itu juga berpotensi merusak lingkungan dan melanggar hukum. Dia mengatakan, Kejaksaan Agung bisa bekerja sama dengan Gakkum LHK untuk mengevaluasi Dokumen AMDAL proyek tersebut. Selain itu, dia juga meminta Kejaksaan Agung memeriksa kembali beberapa pembangunan villa di lokasi yang sama.
“Jika izin secara formal tetap dikeluarkan, maka diduga melanggar UU Lingkungan Hidup dan Permen-ESDM No. 17/2012, Kawasan Bentang Alam Karst merupakan kawasan lindung geologi sebagai bagian kawasan lindung nasional. Artinya, pemanfaatannya tidak boleh berpotensi merusak KBAK, maka bisa disebut sebagai kejahatan lingkungan hidup,” tuturnya.
Sementara itu, Direktur Walhi Yogyakarta, Gandar Mahojwala, mengkritik sikap Bupati Gunungkidul yang menemani Raffi dalam peletakan batu pertama. Dia mengatakan, Bupati seharusnya tahu bahwa Pantai Krakal adalah Kawasan Konservasi Geologi yang tidak boleh dirusak.
“Bupati sendiri tahu bahwa lokasi tersebut adalah Kawasan Konservasi Geologi. Tidak seharusnya bupati sebagai pejabat negara menemani proses seremoni atau muncul wacana seolah-olah mengizinkan, padahal proyek tersebut belum lolos izin dan sangat rawan merusak KBAK dan fungsi karst dalam sistem air,” kata Gandar.
Gandar juga meminta aparat penegak hukum mengawasi seluruh proses perizinan proyek tersebut. Dia mengatakan, proyek beach club itu berisiko merusak Kawasan Konservasi dan menimbulkan dampak permanen dan berkepanjangan. Dia juga menegaskan bahwa izin yang disebut-sebut dari Bupati adalah izin informal, bukan izin administratif untuk usaha pariwisata.
“Kami meyakini yang disebut sebagai ‘izin dari bupati’ adalah izin informal, bukan izin administratif untuk usaha pariwisata,” ucapnya.
Gandar juga meminta pemerintah lebih ketat dalam mengawasi perizinan proyek yang tidak layak dan dapat merusak lingkungan serta sumber mata air. Dia mengatakan, izin harus menjadi alat penentuan kelayakan suatu rencana, bukan hanya syarat pelengkap administratif.
“Yang mendasar sebenarnya adalah bagaimana praktik perizinan hari ini masih menempatkan ‘izin’ tersebut sebagai bentuk syarat pelengkap administratif, bukan sebagai alat penentuan kelayakan suatu rencana. Selama paradigma ‘izin’ tetap hanya sebagai pelengkap, maka kita akan terus melihat lingkungan dan konservasi kalah dengan pariwisata,” ungkapnya.
Terakhir, Gandar juga mempersilakan pemerintah mengkaji ulang perizinan sejumlah villa yang sudah dibangun di sepanjang KBAK termasuk Pantai Krakal.
“Jika mau dikaji ulang, silakan saja!” pungkasnya. (Mar/Mul/Klausa)