Klausa.co

Organisasi Kepemudaan di Kaltim Pasca-Sumpah Pemuda 1928

teks sumpah pemuda (istimewa)

Bagikan

Klausa.co – Tatkala perwakilan pemuda Indonesia mengikrarkan Sumpah Pemuda di Batavia (sekarang Jakarta) pada 28 Oktober 1928, di Kalimantan Timur (Kaltim) belum ada organisasi kepemudaan. Baru lima tahun kemudian, tepatnya pada 1933, sebuah organisasi pemuda bernama Hard Inspanning Sport dibentuk. Nama organisasi ini kemudian disingkat HIS.

Hal itu diungkapkan Sejarawan Lokal Kaltim Muhammad Sarip saat menceritakan situasi Kaltim pada era tersebut. Sarip menuturkan, pendiri organisasi bernama Abdul Gafoor. Seorang pemuda yang kala itu baru saja menamatkan sekolah tingkat dasar pada masa penjajahan Belanda.

Sarip menerangkan, kesadaran para pemuda kala itu membentuk HIS setelah memahami pentingnya segera bergerak dalam perjuangan nasionalisme. Menyadarkan masyarakat bahwa Indonesia bisa menjadi negara yang merdeka. Organisasi kepemudaan itu sengaja diberi nama yang terdiri atas tiga huruf awal masing-masing kata. Alasannya agar sama dengan sekolah Gafoor mengenyam pendidikan, yakni HIS, singkatan dari Hollandsch Inlandche School.

Perkumpulan ini mengadakan kegiatan belajar agama. Selain itu, mereka aktif berkesenian. Lima tahun kemudian, yakni pada 1938 HIS berganti nama menjadi Persatuan Pemuda Indonesia (PERPI).

Baca Juga:  Perlawanan Raden Ronggo Prawirodirjo III Kontra Daendels: Cikal Bakal Perang Diponegoro

Sebenarnya, jauh sebelum HIS dibentuk di Oost Borneo, jenama Kaltim kala itu, Syarikat lslam (SI) sudah berdiri sejak 1913. Namun organisasi tersebut bersifat umum kemasyarakatan. Tidak khusus untuk pemuda.

Pun, perjuangannya bersifat nasional, bukan terbatas pada primordial etnis atau lokalitas. Lalu apa respons SI di Kaltim tentang Sumpah Pemuda di Jakarta?

Sarip menyebut, di Kaltim informasi cukup lambat. Maklum, andalan penyebaran informasi nasional masih bergantung koran lintas pulau. Itu pun bila ada orang yang membawa dari Jawa via laut.

Alasan lain tak ada respons cepat dari Syarikat Islam, pada Kongres Pemuda yang berlangsung 27-28 Oktober 1928 latar belakang peserta dari perkumpulan pemuda representasi etnik atau geografis bukan ormas sosial-politik. Jadi, Syarikat Islam tiada kabar responsif soal Sumpah Pemuda.

Namun yang mesti menjadi catatan, AM Sangaji salah seorang pejabat teras Syarikat Islam sekaligus tokoh pernah menetap di Tenggarong sejak 1917 hingga beberapa tahun kemudian menjadi salah seorang peserta kongres. Artinya, ada peserta dari Kaltim walaupun tidak secara langsung mengatasnamakan perwakilan Kaltim.

Baca Juga:  Prestasi Memukau, Yuni Handayani Raih Juara 3 Pemuda Pelopor Nasional

Menjelang Perang Pasifik, Sangaji kembali ke Kaltim. Dia memilih Samarinda sebagai tempat domisili. Di Kota Tepian dia membina para pemuda. Satu anak didik terbaik Sangaji adalah Abdoel Moeis Hassan, yang mendirikan Rupindo 1940 dan Balai Pengajaran dan Pendidikan Rakyat (BPPR) 1942.

Pada Mei 1940 Moeis belum genap 16 tahun.
Kala itu dia bersama Badroen Tasin, Chairul Arief, Syahranie Yusuf, menggagas pembentukan organisasi kepemudaan lokal yang berhaluan kebangsaan. Namanya, Rukun Pemuda Indonesia, diakronimkan Rupindo.

Perkumpulan ini bertujuan menghimpun dan membangkitkan semangat kaum muda serta menanamkan kesadaran berbangsa, berbahasa, dan bertanah air Indonesia. Sesuai isi Sumpah Pemuda. Organisasi ini eksis hingga 1945.

“Polisi Belanda sering mengintimidasi dan menginterogasi Moeis dkk. Tapi para pengurus Rupindo cerdik berkelit,” kata Sarip.

Baca Juga:  Ananda Emira Moeis: Anak Muda Pilar Penting Perjuangan dan Pembangunan Indonesia

Kelak pada masa Revolusi Kemerdekaan, Moeis Hassan tampil sebagai pemimpin perjuangan diplomasi kemerdekaan di Kaltim dalam wadah Ikatan Nasional Indonesia (INI) dan Front Nasional. Moeis Hassan juga menjadi gubernur Kaltim periode 1962–1966.

Berdirinya Surya Wirawan

Seiring itu, di Samarinda berdiri pula Surya Wirawan. Organisasi ini merupakan perkumpulan pemuda kepanduan, yang sekarang mirip Pramuka.

Ketuanya adalah Bustani HS, yang kemudian pernah dipenjara Belanda selama dua tahun pada 1940–1942. Landraad atau pengadilan kolonial di Samarinda memvonis Bustani H.S. melakukan subversif atau makar dari sebuah orasinya dalam rapat umum. Kala itu, Samarinda menjadi pusat pergerakan di Kaltim.

Pasalnya Kala itu Samarinda adalah pusat pemerintahan kolonial. Juga pusat pendidikan dan perdagangan di Kaltim. Sedang Balikpapan hanya menjadi kota minyak bagi kolonial. Sementara Tenggarong merupakan ibu kota Kerajaan Kutai Kertanegara yang tenang, relatif sepi dari hiruk-pikuk pergerakan. (redaksi/Klausa)

 

IKUTI BERITA KLAUSA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Bagikan

.

.

Search
logo klausa.co

Afiliasi :

PT Klausa Media Indonesia

copyrightâ“‘ | 2021 klausa.co