Klausa.co – Banjarmasin, kota yang terletak di Kalimantan Selatan, dikenal sebagai kota yang damai dan toleran. Namun, pada tanggal 23 Mei 1997, kota ini menjadi saksi bisu dari salah satu kerusuhan massal terbesar dan terburuk dalam sejarah Orde Baru. Kerusuhan ini menewaskan ratusan orang, merusak dan membakar bangunan dan fasilitas umum, serta meninggalkan trauma dan luka batin bagi masyarakat. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai Jumat Kelabu Banjarmasin.
Jumat Kelabu Banjarmasin tidak terlepas dari konteks politik nasional menjelang pemilihan umum legislatif Indonesia 1997. Pemilu ini merupakan pemilu terakhir yang diselenggarakan oleh rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Pemilu ini diduga diwarnai berbagai kecurangan dan intimidasi yang dilakukan oleh penguasa dan partai penguasa, yaitu Golkar.
Salah satu bentuk kecurangan yang dilakukan oleh Golkar, menggelar kampanye secara besar-besaran di berbagai daerah dengan menggunakan fasilitas negara dan melibatkan aparat keamanan. Kampanye Golkar juga sering kali mengganggu aktivitas masyarakat dan mengabaikan hak-hak politik warga.
Kronologi
Tanggal 23 Mei 1997, bertepatan dengan hari Jumat. Dalam rangka menyambut pemilu 1997, akan ada acara besar yang dilangsungkan di pusat kota Banjarmasin. Salah satu partai yang ikut serta dalam pemilu, Golkar, akan menyelenggarakan kampanye dengan panggung hiburan rakyat. Panggung hiburan rakyat itu rencananya akan dilaksanakan usai salat Jumat.
Namun, rencana tersebut tidak pernah terwujud, justru berubah menjadi sebuah tragedi berdarah yang akan selalu dikenang. Dilansir dari bosscha.id, sebagian massa dari kampanye Golkar yang terdiri dari anak-anak muda membuat kegaduhan dengan membuat suara raungan sepeda motor, sehingga mengganggu ketenangan umat muslim yang tengah melaksanakan salat Jumat.
Hal ini dilanjutkan dengan arak-arakan sepeda motor tersebut melewati Masjid Noor di Jalan Pangeran Samudra. Sebenarnya, sudah ada larangan agar tidak melewati Masjid Noor. Terlebih saat itu jemaah salat Jumat juga meluber ke depan halaman depan masjid. Namun, massa kampanye yang didukung oleh Satgas Golkar tetap ngotot ingin melewati jalan tersebut dengan alasan salat Jumat sudah hampir selesai.
Usai salat Jumat, massa yang tadinya terganggu ibadahnya mulai berdatangan dari berbagai penjuru untuk menuju Kantor DPD Golkar Kalimantan Selatan. Bentrokan pun tak terelakkan antara massa dengan Satgas Golkar dan Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan Indonesia (FKPPI).
Bentrokan semakin memanas ketika massa mengetahui bahwa ada korban jiwa akibat tindakan Satgas Golkar dan FKPPI. Salah satu korban adalah remaja berusia 13 tahun. Dia tewas tertembak di depan Masjid Noor. Selain itu, ada juga korban lain yang tewas akibat penusukan atau penganiayaan.
Kerusuhan pun meluas ke berbagai tempat di Banjarmasin. Massa membakar dan merusak bangunan-bangunan milik pemerintah atau milik orang-orang yang diduga pendukung Golkar. Beberapa bangunan yang menjadi sasaran amukan massa antara lain adalah Kantor DPD Golkar Kalimantan Selatan, Kantor DPRD Kota Banjarmasin, Kantor Bupati Banjarbaru, Kantor Bupati Tanah Laut, Kantor Bupati Hulu Sungai Tengah, Kantor Bupati Hulu Sungai Selatan, Kantor Bupati Hulu Sungai Utara, Kantor Bupati Tabalong, Kantor Bupati Balangan, Kantor Bupati Kotabaru, Kantor Bupati Barito Kuala, Kantor Bupati Tanah Bumbu.
Selain itu, massa juga membakar dan merusak bangunan-bangunan komersial seperti Mitra Plaza (mal terbesar di Banjarmasin saat itu), Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), Bank Pembangunan Daerah (BPD), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Central Asia (BCA), Bank Umum Nasional (BUN), Bank Internasional Indonesia (BII), Bank Ekspor Impor Indonesia (Bank Exim), Bank Dagang Bali (BDB), Bank Niaga (BN), Bank Danamon (BD), Bank Bukopin (BB), Bank Jabar (BJ), Bank Sumsel (BS), Bank Mandiri (BM), Bank Permata (BP), Bank Mega (BMG), Bank Artha Graha (BAG), Bank Lippo (BLP), Bank Bali (BBALI), Bank Universal (BU), Bank Nusa Nasional (BNN), serta beberapa bank lainnya.
Massa juga menyerang bioskop-bioskop seperti Studio 21 Mitra Plaza, Studio 21 Duta Mall, Studio 21 Antasari Plaza, Studio 21 Lambung Mangkurat Plaza; serta restoran-restoran cepat saji seperti CFC Mitra Plaza dan McDonald’s Duta Mall.
Korban
Kerusuhan Jumat Kelabu Banjarmasin menelan korban jiwa yang cukup banyak. Namun, jumlah pasti korban tidak diketahui secara pasti karena adanya ketertutupan pemerintah Orde Baru dalam memberitakan peristiwa ini. Berbagai sumber memberikan angka-angka yang berbeda-beda mengenai korban jiwa akibat kerusuhan ini.
Menurut data resmi pemerintah Orde Baru saat itu melalui Menteri Sekretaris Negara Moerdiono pada tanggal 26 Mei 1997 menyebutkan bahwa korban jiwa akibat kerusuhan di Banjarmasin berjumlah 24 orang tewas dan 36 orang luka-luka.
Namun data tersebut dipertanyakan oleh banyak pihak karena dianggap tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Menurut data dari Tim Advokasi Korban Kerusuhan Banjarmasin pada tahun 2000 menyebutkan bahwa korban jiwa akibat kerusuhan berjumlah 238 orang tewas dan 1.500 orang luka-luka.
Sementara itu menurut data dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada tahun 2002 menyebutkan bahwa korban jiwa akibat kerusuhan berjumlah 140 orang tewas dan 1.000 orang luka-luka.
Selain korban jiwa dan luka-luka, kerusuhan ini juga menimbulkan korban hilang tanpa jejak. Menurut data dari Tim Advokasi Korban Kerusuhan Banjarmasin pada tahun 2000 menyebutkan bahwa ada sekitar 50 orang yang hilang akibat kerusuhan ini.
Penyebab
Penyebab utama dari kerusuhan Jumat Kelabu Banjarmasin adalah ketidakpuasan masyarakat terhadap rezim Orde Baru dan partai penguasa Golkar yang melakukan berbagai kecurangan dan intimidasi dalam pemilu 1997. Hal ini diperparah oleh sikap arogan dan represif dari aparat keamanan dan Satgas Golkar yang mengganggu ibadah salat Jumat masyarakat muslim di Banjarmasin.
Selain itu ada juga faktor-faktor lain yang turut memicu kerusuhan ini seperti faktor ekonomi sosial budaya masyarakat Banjarmasin yang merasa tertinggal dan tersisih dari pembangunan nasional; faktor etnisitas antara penduduk asli Banjar.
Dampak
Kerusuhan Jumat Kelabu Banjarmasin memiliki dampak yang sangat besar dan menyedihkan bagi kota Banjarmasin dan sekitarnya. Dampak tersebut antara lain adalah:
Kerugian materi. Kerusuhan ini merusak dan membakar ratusan bangunan dan fasilitas umum yang berharga miliaran rupiah. Selain itu, kerusuhan ini juga menghambat aktivitas ekonomi dan perdagangan di kota Banjarmasin dan sekitarnya.
Kerusuhan ini menimbulkan trauma dan luka batin bagi masyarakat yang menjadi saksi dan korban kekerasan. Banyak orang yang kehilangan keluarga, sahabat, atau harta benda akibat kerusuhan ini. Banyak pula orang yang mengalami gangguan psikologis akibat kerusuhan ini.
Kerusuhan ini menodai sejarah Banjarmasin sebagai kota yang damai dan toleran. Kerusuhan ini juga menjadi salah satu bukti dari kegagalan rezim Orde Baru dalam menjaga stabilitas politik dan keamanan nasional.
Penyelesaian
Kerusuhan Jumat Kelabu Banjarmasin berakhir setelah pemerintah pusat mengirimkan pasukan militer untuk mengendalikan situasi. Presiden Soeharto juga mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penanganan Kerusuhan Sosial di Daerah-daerah pada tanggal 26 Mei 1997.
Instruksi Presiden tersebut memerintahkan kepada gubernur, bupati/walikota, dan panglima daerah untuk melakukan langkah-langkah penanganan kerusuhan sosial di daerah-daerah, antara lain:
Menyelidiki penyebab dan pelaku kerusuhan serta menindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku. Memberikan bantuan kepada korban kerusuhan baik berupa perawatan medis maupun pemulihan psikologis.
Melakukan rekonstruksi dan rehabilitasi terhadap bangunan dan fasilitas umum yang rusak akibat kerusuhan. Melakukan upaya-upaya untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan aparat keamanan.
Melakukan upaya-upaya untuk memperbaiki hubungan antar kelompok masyarakat yang terlibat dalam kerusuhan. Selain itu, pemerintah juga membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) untuk mengungkap fakta-fakta seputar kerusuhan Jumat Kelabu Banjarmasin. TPF ini terdiri dari unsur pemerintah, DPR, MPR, partai politik, tokoh masyarakat, tokoh agama, LSM, akademisi, dan pers.
TPF ini bertugas untuk melakukan penyelidikan lapangan, wawancara dengan saksi-saksi, pengumpulan data dan dokumen, serta analisis dan kesimpulan. Hasil kerja TPF ini kemudian disampaikan kepada Presiden Soeharto pada tanggal 18 Juni 1997.
Sayangnya, hasil kerja TPF ini tidak pernah dipublikasikan secara luas kepada masyarakat. Hingga saat ini, masih banyak misteri dan pertanyaan yang belum terjawab mengenai kerusuhan Jumat Kelabu Banjarmasin. (Fch/Klausa)