Samarinda, Klausa.co – Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur (Kejati Kaltim) resmi menahan mantan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kaltim berinisial AMR, Senin (19/5/2025). Ia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penyimpangan dana jaminan reklamasi tambang batubara milik CV Arjuna. Penahanan ini menandai babak baru dalam pengusutan pelanggaran pengelolaan lingkungan di sektor pertambangan yang selama ini kerap luput dari sorotan.
AMR yang menjabat pada 2010 hingga 2018 diduga kuat menyetujui pencairan dana jaminan reklamasi CV Arjuna secara melawan hukum. Pencairan dilakukan tanpa dokumen pendukung, tanpa laporan pelaksanaan reklamasi, serta tanpa evaluasi teknis yang semestinya menjadi prasyarat dalam mekanisme pengembalian dana tersebut.
“Dana jaminan tersebut kemudian dicairkan oleh CV Arjuna untuk kepentingan lain. Sampai saat ini, perusahaan tidak pernah melaksanakan reklamasi dan tidak mengembalikan jaminan tersebut,” ungkap Kepala Seksi Penyidikan Aspidsus Kejati Kaltim, Indra Rifani.
CV Arjuna diketahui sebagai pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi seluas 1.452 hektare di kawasan Makroman, Kecamatan Sambutan, Kota Samarinda. Izin itu berlaku hingga 6 September 2021, dengan kewajiban menyusun rencana reklamasi dan menyetorkan dana jaminan sejak awal operasi. Dana tersebut sempat ditempatkan dalam bentuk deposito dan bank garansi pada periode 2010-2016.
Namun alih-alih digunakan untuk pemulihan lahan pascatambang, dana justru diserahkan kembali ke perusahaan secara ilegal oleh Distamben Kaltim pada 2016. Selain AMR, Direktur Utama CV Arjuna berinisial IEE juga telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan dalam kasus ini.
Dari hasil penyidikan, kerugian negara akibat pencairan dana jaminan yang tidak sah mencapai Rp13,1 miliar. Selain itu, nilai jaminan yang kedaluwarsa ditaksir sebesar Rp2,49 miliar, dan kerusakan lingkungan akibat reklamasi yang tak terlaksana diperkirakan menimbulkan kerugian ekonomi sebesar Rp58,54 miliar.
“Kerugian dari pencairan jaminan reklamasi menjadi tanggung jawab hukum karena tidak sesuai prosedur. Sementara kerugian lingkungan dan ekonomi akan dikaji lebih lanjut oleh BPKP,” ujar Indra Rifani. (Din/Fch/Klausa)