Klausa.co

Psikolog: Pelaku Pembunuhan di Babulu Butuh Pendampingan

Bagikan

Klausa.co Kasus pembunuhan yang menewaskan satu keluarga di Desa Babulu, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) pada Selasa (6/2/2024) lalu, masih menyisakan duka dan tanda tanya. Apa yang membuat seorang anak berusia 16 tahun tega menghabisi nyawa orang lain dengan sadis?

Klausa.co berkesempatan mewawancarai Ayunda Ramadhani, Ketua Ikatan Psikologi Klinis (IPK) Himpsi Kaltim, untuk mengetahui lebih dalam tentang kondisi psikologis pelaku. Ayunda mengatakan, ada dua faktor yang bisa mempengaruhi perilaku kekerasan seseorang, yaitu faktor individu dan faktor psikososial.

“Individu itu meliputi gangguan kejiwaan atau gangguan kepribadian yang cenderung anti-sosial. Psikososial itu meliputi pola asuh keluarga, lingkungan tempat tinggal, dan pengaruh media sosial,” jelas Ayunda saat dihubungi Klausa.co melalui telepon, Kamis (8/2/2024).

Menurut Ayunda, perkembangan kepribadian seorang anak sangat dipengaruhi oleh pola asuh keluarga sejak dia masih balita hingga dewasa. Jika anak mendapatkan perlakuan kasar, kekerasan, atau tidak mendapat rasa aman dari orang tua, maka anak akan mengalami kecemasan yang bisa menimbulkan agresi.

Baca Juga:  Sakit Hati Ditegur saat Pesta Miras, Pria di Berau Bunuh Tetangga dan Buang ke Kandang Buaya

“Agresi itu ada dua macam, ada yang diarahkan ke dalam diri sendiri, seperti menyakiti diri sendiri, dan ada yang diarahkan ke luar diri, seperti menyakiti orang lain. Kasus di Babulu ini termasuk yang kedua, pelaku mengarahkan agresinya ke luar diri dengan melakukan tindakan kekerasan terhadap korban,” papar Ayunda.

Selain itu, Ayunda juga menyebutkan bahwa faktor lingkungan juga berperan dalam membentuk perilaku kekerasan seseorang. Mungkin saja, kata dia, pelaku tumbuh di lingkungan yang penuh dengan kekerasan atau pernah menjadi korban kekerasan. Hal ini akan mempengaruhi proses belajar yang salah, sehingga pelaku menganggap kekerasan adalah solusi untuk menyelesaikan konflik.

“Apalagi saat kejadian, pelaku dalam kondisi mabuk. Ini akan memperparah situasinya, karena pelaku tidak bisa berpikir rasional dan mengendalikan emosinya. Jadi, dia tidak punya rasa empati atau kasihan terhadap korban,” ungkap Ayunda.

Baca Juga:  Insiden Berdarah di Taman Cerdas, Bermotif Dendam Lama, Saling Tebas Satu Tewas

Ayunda menambahkan, pelaku sangat membutuhkan pendampingan psikolog untuk membantu mengatasi masalahnya. Pelaku perlu belajar cara mengelola emosi yang baik, mencontoh perilaku yang baik, dan menata ulang proses berpikirnya yang salah. Ayunda juga menyarankan untuk menelusuri peran orang tua pelaku dalam kasus ini.

“Bagaimana orang tua pelaku mengasuh dia? Apakah mereka memberikan kasih sayang, perhatian, dan bimbingan yang cukup? Atau malah sebaliknya, mereka memberikan tekanan, kekerasan, atau bahkan mengabaikan dia? Ini penting untuk diketahui, agar bisa memberikan edukasi kepada orang tua pelaku,” tutur Ayunda.

Ayunda juga mengimbau kepada masyarakat untuk tidak melakukan perundungan atau bullying terhadap pelaku, baik secara langsung maupun melalui media sosial. Hal ini bisa berdampak negatif bagi psikis pelaku, yang bisa membuatnya makin marah dan tidak terkendali. Ayunda berharap, masyarakat bisa bersikap humanis dan peduli terhadap pelaku, yang masih berstatus anak-anak.

Baca Juga:  Sidang Kurir 7 Kg Sabu Tangkapan Polda Kaltim, Terdakwa Mengaku Diupah Rp 2 Juta dari Perkilogram Paket

“Kita harus ingat, pelaku juga adalah korban dari lingkungan dan situasi yang tidak mendukung. Dia juga butuh bantuan dan dukungan untuk bisa berubah menjadi lebih baik. Kita tidak boleh menghakimi atau menstigma dia sebagai pembunuh, tapi kita harus memberikan kesempatan kedua untuk dia,” pungkas Ayunda. (Yah/Fch/Klausa)

Bagikan

.

.

Search
logo klausa.co

Afiliasi :

PT Klausa Media Indonesia

copyrightâ“‘ | 2021 klausa.co