Jakarta, Klausa.co – Upah minimum merupakan salah satu isu yang selalu menarik perhatian para pekerja, pengusaha, dan pemerintah. Setiap tahun, terjadi perdebatan sengit mengenai formula yang digunakan untuk menentukan kenaikan upah minimum di setiap daerah. Tahun ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 yang mengatur tentang formula kenaikan upah minimum.
Formula yang terdapat dalam PP 51/2023 ini berbeda dengan formula yang pernah digunakan dalam PP 78/2015 dan PP 36/2021. PP 78/2015 menggunakan formula yang mengacu pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi, sedangkan PP 36/2021 menggunakan formula yang mengacu pada inflasi dan produktivitas. Kedua formula ini menuai kritik dari berbagai pihak, baik pekerja maupun pengusaha.
Akademisi Sekolah Tinggi Ilmu Statistika (STIS) Mohammad Dokhi menilai formula kenaikan upah minimum dalam PP 51/2023 merupakan jalan tengah antara formula yang pernah digunakan dalam PP 78/2015 dan PP 36/2021. Dia mengatakan dalam kondisi tertentu PP 36/2021 cenderung memberatkan pihak pekerja, sedangkan pada PP 78/2015 cenderung memberatkan pihak pengusaha.
“Dengan formula kenaikan yang cenderung moderat (tidak memberatkan pengusaha dan tidak merugikan pekerja), saya berpendapat bahwa kenaikan upah minimum dalam PP 51/2023 sudah rasional,” kata Dokhi dalam keterangannya, Sabtu (25/11/2023).
Namun demikian, Dokhi menekankan bahwa ada hal yang lebih penting dari pembahasan upah minimum, yaitu bagaimana para pemangku kepentingan dapat mengawal penerapan struktur dan skala upah bagi pekerja yang bekerja lebih dari setahun di setiap perusahaan. Menurutnya, hal ini penting untuk menciptakan keadilan upah antar pekerja.
“Mengawal penerapan struktur dan skala upah ini penting supaya tercipta keadilan upah antarpekerja. Dengan upah yang adil antarpekerja maka akan tercipta kondusivitas,” terangnya.
Dia menyampaikan kondusivitas dunia usaha merupakan syarat bagi peningkatan produktivitas di setiap perusahaan, sementara produktivitas akan meningkatkan daya saing perekonomian wilayah maupun daya saing nasional. Oleh karena itu, Dokhi mengajak para pemangku kepentingan untuk tidak hanya fokus pada pembahasan upah minimum, tetapi juga pada penerapan upah aktual (upah kesejahteraan) yang berkeadilan melalui struktur dan skala upah di masing-masing perusahaan.
“Jika hanya fokus kepada pembahasan upah minimum, maka sistem pengupahan Indonesia selamanya akan kurang produktif karena pada level perusahaan tidak akan memulai penerapan sistem pengupahan berbasis produktivitas. Jadi ke depan mari tunjukkan itikad baik dari seluruh stakeholder terkait pengupahan dalam hubungan industrial, karena sistem sebaik apa pun tidak akan berjalan dengan baik tanpa iktikad baik dari para pemangku kepentinganya,” tegasnya. (Mar/Bob/Klausa)