Kutai Timur, Klausa.co – Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrat Kabupaten Kutai Timur (Kutim) mengumumkan resmi keluar dari koalisi partai pengusung pemerintah yang saat ini diduduki Ardiansyah Sulaiman – Kasmidi Bulang (AS-KB). Koalisi yang telah berjalan selama tiga tahun resmi pecah pada Rabu (22/2/2023).
Pengurus partai mercy cabang Kutai Timur itu menilai Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kutim di bawah kepemimpinan pimpinan Bupati Ardiansyah Sulaiman dan Wakil Bupati Kasmidi Bulang gagal menjalankan visinya. Yakni Menata Kutai Timur Sejahtera Untuk Semua.
Dalam konferensi pers di Sekretariat DPC Partai Demokrat Kutim, Ketua DPC Partai Demokrat Kutim Ordiansyah mengatakan, ada beberapa hal yang mendasari pihaknya menarik diri dari koalisi. Di antaranya, berdasar Surat Pernyataan dan Pakta Integritas calon bupati dan wakil bupati Kutim yang ditandatangani di kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta pada 29 Juli 2020. Kemudian, saran dan masukan masyarakat, kader, pengurus, dan anggota DPRD Kutim Fraksi Partai Demokrat. Ditambah hasil evaluasi kinerja Pemkab Kutim hingga Februari 2023 oleh DPC Partai Demokrat Kutim.
“Mencermati jalannya pemerintahan, DPC Partai Demokrat Kutim telah melihat kegagalan mencapai visi tersebut. Kegagalan pemerintah daerah menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik,” terangnya.
Selanjutnya, atas tindakan serta keputusan dan kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah daerah sejauh ini, telah membuktikan bahwa asas-asas pemerintahan yang baik telah dilanggar. Tak hanya itu, ada beberapa kebijakan yang dianggap bermasalah serius oleh DPC Partai Demokrat Kutim, di antaranya:
1. Penyelengaraan Anggaran. Gagal dalam penyusunan perencanaan, pelaksanaan dan monitoring evaluasi anggaran. Indikasi, lambatnya anggaran yang diturunkan untuk pembangunan berisiko kegagalan, dan tidak selesainya proyek-proyek pemerintah serta terjadinya SILPA yang sangat besar, yang akhirnya merugikan masyarakat yakni mencapai Rp 362 miliar.
2. Penerapan pengelolaan anggaran yang tidak transparan. Indikasi kalahnya Pemkab dalam kasus keterbukaan informasi publik tentang Dokumen APBD melawan tuntutan Fraksi Rakyat Kutim di pengadilan.
3. Penyelenggaraan anggaran yang tidak prudent. Indikasi, permintaan pertimbangan hukum pada Institusi penegak hukum untuk rencana MYC 2023, mencerminkan bahwa patut diduga sebagai upaya mencari pembenaran terhadap kebijakan yang tidak prudent.
4. Kepastian Hukum. Gagalnya penegakan hukum yang tegas tanpa pandang bulu. Indikasi, terjadinya pembiaran pelanggaran hukum yang berakibat terancamnya jiwa masyarakat dan rusaknya lingkungan hidup. Contoh kasusnya, penggunaan jalan umum kabupaten ruas Rantau Pulung -Sangatta untuk hauling batubara perusahaan PT Arkara Prathama Energi/PT BAS.
5. Menggunakan instrumen kebijakan untuk berlaku zalim kepada masyarakat. Indikasi, penerbitan Peraturan Bupati tentang tunjangan/insentif untuk Guru Honorer P3K yang menghilangkan hak mereka secara semena-mena. Menggunakan instrumen kebijakan legal (AUTOCRATIC LEGALISM atau AUTORITARIAN LEGALISM).
6. Pemerintah Daerah gagal menyiapkan birokrasi untuk menunjang kinerja pemerintah yang baik. Indikasi, lambatnya pemkab menyusun struktur birokrat yang siap bekerja, penggantian dan kekosongan jabatan yang dibiarkan membuat kewenangan pejabat atas anggaran menjadi bermasalah.
7. Meningkatnya potensi terjadinya korupsi pada jalannya pemerintahan Kabupaten Kutim. Indikasinya, turunnya Indeks Integritas Pemerintah Daerah yang dikeluarkan oleh KPK-RE dalam tahun 2022 dan 2023.
8. Kerja birokrasi yang tidak profesional di bidangnya. Dan tidak kompetennya beberapa pejabat dan ASN. Indikasi, Keputusan Lembaga OMBUDSMAN yang memerintahkan Pemkab menyelesaikan ganti rugi rumah korban banjir Sangatta.
Lebih lanjut, “berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka DPC Partai Demokrat Kutim secara resmi menarik diri dari koalisi partai pengusung pasangan Ardiansyah Sulaiman – Kasmidi Bulang.” Tutup Ordianyah. (Mar/Fch/Klausa)