Klausa.co

KontraS Sebut Pemerintah Alami ‘Civil Phobia’, Kebebasan Sipil Terus Tergerus

Peserta yang tergabung dari berbagai Organisasi Nasional dan Daerah, saat peringatan 8 tahun Aksi Kamisan, di Teras Samarinda. ( Foto : Din/Klausa )

Bagikan

Samarinda, Klausa.co – Ruang kebebasan sipil di Indonesia dinilai terus menyempit. Teror terhadap jurnalis, kriminalisasi lewat pasal karet, hingga pembatasan ruang kritik disebut sebagai tanda pemerintah, baik pusat maupun daerah, tengah dilanda civil phobia, ketakutan berlebihan terhadap masyarakat sipil.

Kepala Divisi Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Jane Rosalina, menilai tren ini semakin menguat dalam beberapa tahun terakhir.

“Pemerintah sangat anti terhadap kebebasan masyarakat sipil. Bahkan ruang berekspresi dan kebebasan pers makin dibatasi,” ujarnya, Jumat (8/8/2025), saat dimintai pandangan soal intimidasi terhadap jurnalis di Kalimantan Timur (Kaltim).

Menurut Jane, fenomena ini bukan hanya masalah di daerah, melainkan gambaran situasi nasional. Sejak era Presiden Joko Widodo, ia melihat ruang kebebasan sipil terus mengalami penyusutan. Jika pada masa lalu pembungkaman kritik kerap dilakukan lewat kekerasan fisik, kini metode itu bergeser menjadi kriminalisasi hukum.

Baca Juga:  Andi Harun Resmikan Pembangunan Sekolah Maitreyawira, Janjikan Sekolah Internasional di Samarinda

“Kalau dulu pembungkaman dilakukan dengan penculikan, bahkan penghilangan nyawa. Sekarang digantikan dengan jerat UU ITE dan ancaman dari RUU Perlindungan Data Pribadi. Sama bahayanya,” tegasnya.

KontraS juga mengkritik revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dinilai berpotensi mempersempit ruang ekspresi publik. Jane menyebut pola ini mengingatkan pada praktik Orde Baru. Pada era itu, negara memaksakan satu narasi tunggal dan mematikan kritik.

“Dulu kita hanya boleh dengar satu suara resmi dari negara. Sekarang pola itu diulang lagi,” ucapnya.

Ia mencontohkan teror terhadap redaksi Tempo dengan kiriman kepala babi sebagai bukti bahwa kekerasan terhadap kebebasan pers belum sepenuhnya hilang. Praktik teror semacam ini, kata Jane, pernah pula terjadi pada masa Orde Baru dengan mengirim potongan kepala manusia kepada pihak-pihak yang vokal terhadap penguasa.

Baca Juga:  Menuju Sekolah Adiwiyata Mandiri, SMPN 31 Simpang Pasir Dapat Suntikan Dukungan dari Wali Kota Samarinda

Didirikan pada 20 Maret 1998, KontraS awalnya merupakan gugus tugas yang menggantikan KIP-HAM (1996). Kini, lembaga ini tetap mengemban mandat membongkar praktik kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan.

“Penting untuk menolak wacana kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat dan kebebasan sipil,” tandas Jane.

Nada serupa disampaikan Sumarsih, penggagas Aksi Kamisan sekaligus ibu korban Tragedi Semanggi I. Ia menyoroti makin terbatasnya ruang bagi jurnalis di tengah situasi politik daerah.

“Pemerintah jangan takut pada wartawan. Mereka adalah pembawa kebenaran,” pungkasnya. (Din/Fch/Klausa)

Bagikan

.

.

Search
logo klausa.co

Afiliasi :

PT Klausa Media Indonesia

copyrightⓑ | 2021 klausa.co