Kutim, Klausa.co – Di tengah reformasi perizinan yang ketat di sektor perkebunan kelapa sawit, Kabupaten Kutai Timur (Kutim) muncul sebagai salah satu pusat utama di Kalimantan Timur (Kaltim). Namun, di balik ketatnya regulasi, ada dinamika menarik yang mengubah wajah industri ini, yakni dari ketergantungan perusahaan pada petani mandiri hingga perubahan harga yang berdampak besar pada kesejahteraan petani.
Anggota DPRD Kutim, Faizal Rachman, mengungkapkan realitas yang kurang terungkap. Banyak perusahaan kelapa sawit yang mendapatkan izin tidak memiliki kebun sendiri, melainkan bergantung pada petani mandiri. Fenomena ini menunjukkan kompleksitas pasar yang lebih besar, menyebabkan ketergantungan perusahaan pada pasokan petani mandiri memberikan dampak langsung pada ekonomi lokal.
“Sebagian besar dari 38 perusahaan kelapa sawit di Kutim tidak memiliki kebun dan hanya mengandalkan pasokan dari petani mandiri,” kata Faizal Rachman, menunjukkan keterhubungan yang mendalam antara perusahaan besar dan petani lokal.
Kondisi ini ternyata membuka peluang baru bagi petani mandiri yang kini memiliki akses pasar yang lebih luas. Di tengah kenaikan harga sawit, dari Rp 500 per kilogram beberapa tahun lalu menjadi Rp 2.200 hingga Rp 2.600 per kilogram, petani melihat secercah harapan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
“Ini adalah kesempatan emas bagi petani mandiri. Mereka dapat menjual hasil sawitnya kepada perusahaan-perusahaan yang sebelumnya hanya bergantung pada pasokan dari kebun-kebun besar,” jelasnya.
Namun, tidak semua petani merasakan manfaatnya. Tantangan lain muncul dari biaya produksi yang tinggi dan infrastruktur yang belum memadai. Faizal menggarisbawahi perlunya dukungan dari Pemerintah Kabupaten Kutim untuk membantu petani mengatasi kendala ini.
“Saat ini, petani mandiri menghadapi kesulitan besar karena biaya produksi yang tinggi dan harga jual yang tidak selalu mencukupi. Dukungan pemerintah menjadi kunci untuk memastikan mereka dapat berkembang,” katanya.
Melihat masa lalu, banyak kebun terbengkalai, Faizal optimis bahwa perubahan harga sawit yang membaik dapat mengubah arah industri ini.
“Harga sawit yang lebih baik dapat memotivasi petani yang memiliki lahan kosong untuk kembali menanam dan mengelola kebun sawit mereka,” jelasnya. (Nur/Mul/ADV/DPRD Kutim)