Samarinda, Klausa.co – Lalu lintas Jalan Gajah Mada, Samarinda pada Kamis sore (7/8/2025) kian padat, ketika sekelompok orang berpakaian serba hitam berdiri di Teras Samarinda. Di bawah payung hitam yang mereka genggam, aksi tersebut menandai delapan tahun Aksi Kamisan Kalimantan Timur (Kaltim).
Di antara peserta aksi, ada dua sosok yang tak asing dalam sejarah perjuangan hak asasi manusia (HAM) Indonesia. Keduanya adalah Suciwati dan Sumarsih.
Keduanya hadir untuk menyuarakan kegelisahan mereka soal demokrasi yang berjalan mundur. Selain itu, mereka melihat hak asasi manusia yang terus dikompromikan atas nama stabilitas.
Suciwati, istri dari almarhum Munir Said Thalib, aktivis HAM yang tewas diracun dalam penerbangan 2004 silam, tak segan menyebut kondisi Indonesia hari ini sebagai bentuk nyata kemunduran moral.
“Ketika pelanggar HAM bisa menjadi pemimpin, itu bukan lagi ironi. Itu cermin dari degradasi nilai dan kemanusiaan kita,” tegasnya, menyindir situasi politik saat ini.
Menurutnya, negara kini menunjukkan wajah baru yang ia sebut sebagai represif dan sistematis. Ditandai dengan ruang kritik dipersempit, sumber daya dikuras, dan segala bentuk perlawanan dimatikan dengan cara yang brutal.
Namun di balik nada keras itu, Suciwati masih memegang harapan. Ia melihat generasi muda, dengan bendera, musik, dan karya seni mereka, sedang merumuskan bentuk perlawanan baru.
“Melawan tidak harus turun ke jalan. Budaya, ekspresi, dan karya mereka adalah bentuk lain dari perlawanan,” ujarnya.
Sementara itu, Sumarsih, penggagas Aksi Kamisan sejak 2007 dan ibu dari Bernardinus Realino Norma Irmawan, mahasiswa yang tewas dalam Tragedi Semanggi I, turut menyampaikan refleksi. Ia menyebut Aksi Kamisan sebagai bentuk kesetiaan terhadap keadilan.
“Saya salut atas keteguhan kawan-kawan di Kaltim. Ini bukti bahwa keadilan masih punya pembela,” ucapnya.
Namun Sumarsih tak menutupi pesimismenya. Sejak Prabowo Subianto resmi menjadi presiden, keluarga korban pelanggaran HAM tak lagi mengirimkan surat tuntutan seperti yang rutin mereka lakukan saban Kamis di masa pemerintahan sebelumnya.
“Kami berhenti kirim surat. Kami hanya cetak selebaran untuk dibagikan ke peserta aksi dan jurnalis. Itu sudah cukup menggambarkan sikap kami,” ungkapnya.
Meski demikian, ia menyebut gerakan Kamisan telah tumbuh jadi jaringan nasional, menyatu dengan isu-isu lokal dan menginspirasi anak-anak muda di berbagai daerah.
“Aksi Kamisan adalah ruang belajar. Generasi muda tumbuh jadi pribadi yang kritis dan peduli. Ini modal penting untuk masa depan bangsa,” tutup Sumarsih. (Din/Fch/Klausa)