Jakarta, Klausa.co – Sebuah putusan kontroversial dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah syarat calon presiden dan wakil presiden menjadi lebih longgar, memicu gelombang protes dari berbagai pihak. Sembilan hakim konstitusi yang mengeluarkan putusan tersebut diduga melanggar kode etik dan menjadi terlapor di Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
MKMK adalah lembaga yang bertugas mengawasi perilaku hakim konstitusi dan memberikan sanksi jika terbukti bersalah. MKMK berencana mempercepat putusan perkara dugaan pelanggaran kode etik tersebut, dari yang seharusnya 30 hari kerja menjadi hanya 22 hari.
Alasannya, MKMK ingin menghindari spekulasi bahwa putusan itu berkaitan dengan agenda politik, terutama menjelang batas akhir pengusulan perubahan pasangan bakal capres dan cawapres di Pilpres 2024.
“Kami rancang putusan ini harus selesai pada tanggal 7 November, karena pada tanggal 8 November itu ‘kan kesempatan terakhir untuk pengusulan perubahan bakal pasangan calon presiden dan wakil presiden,” ungkap Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie di Jakarta, Senin (30/10).
Jimly menegaskan bahwa percepatan putusan itu bukan berarti mengorbankan kualitas dan keadilan. Ia mengatakan bahwa MKMK telah melakukan sidang terbuka dan tertutup untuk memeriksa pelapor dan hakim terlapor secara profesional dan objektif.
“Kami sudah mendengarkan keterangan dari semua pihak yang terkait, baik pelapor, hakim, maupun staf ahli. Kami juga sudah mempelajari dokumen-dokumen yang relevan. Kami akan memutuskan berdasarkan fakta dan bukti yang ada,” kata Jimly.
Jimly berharap masyarakat tidak mengajukan laporan yang sama terkait dengan dugaan pelanggaran kode etik tersebut, karena hal itu hanya akan membuang-buang waktu dan energi. Ia mengatakan bahwa MKMK sudah menerima 18 laporan, yang sebagian besar menyoroti peran Ketua MK Anwar Usman dalam putusan kontroversial itu.
“Jadi, sekarang sudah ada 18 laporan, sudah nambah lagi dua laporan pada hari ini. Dari 18 laporan itu, ada enam isu. Kemudian, ada sembilan terlapor, tetapi laporan yang paling pokok, paling utama, paling banyak itu Pak Anwar Usman,” ujar Jimly.
Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menjadi sumber masalah itu adalah hasil dari gugatan warga negara Indonesia (WNI) bernama Almas Tsaqibbirru Re A. dari Surakarta, Jawa Tengah. Ia mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ke MK.
Pada Senin (16/10), MK mengabulkan sebagian permohonannya dan menyatakan bahwa batas usia capres-cawapres berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah, bertentangan dengan UUD 1945.
Putusan itu dianggap memberikan jalan bagi Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, untuk maju sebagai capres atau cawapres di Pilpres 2024. Gibran saat ini menjabat sebagai Wali Kota Solo dan baru berusia 36 tahun.
Banyak kalangan menilai bahwa putusan MK sarat konflik kepentingan, karena Anwar Usman merupakan ipar dari Jokowi alias paman dari Gibran. Lantas, apakah dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi itu terbukti? Bagaimana tanggapan Gibran Rakabuming Raka dan Jokowi terkait putusan MK itu? Dan bagaimana dampaknya bagi dinamika politik nasional menjelang Pilpres 2024?
Semua itu akan terjawab setelah MKMK mengumumkan putusan akhirnya pada 7 November mendatang. (Mar/Bob/Klausa)