Jakarta, Klausa.co – Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 semakin memanas. Salah satu isu yang menarik perhatian publik adalah deklarasi dukungan ribuan kepala desa dan perangkat desa kepada pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka di acara Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) beberapa waktu lalu.
Apakah deklarasi tersebut merupakan pelanggaran berat pemilu atau hanya lubang hukum yang dimanfaatkan oleh pihak tertentu? Berikut ulasan dari dua pakar yang berbeda pandangan.
Pelanggaran Berat Pemilu
Menurut Lili Romli, peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), deklarasi dukungan Prabowo-Gibran oleh kepala desa dan perangkat desa adalah bentuk pelanggaran berat pemilu. Ia menilai bahwa mereka yang seharusnya netral dan tidak berpihak, ternyata berpihak dengan melakukan deklarasi mendukung salah satu pasangan calon.
“Saya kira merupakan suatu pelanggaran berat. Mereka yang seharusnya netral, tidak berpihak, ternyata mereka berpihak dengan melakukan deklarasi mendukung pasangan Prabowo-Gibran,” ujar Lili di Jakarta, Kamis (23/11/2023).
Lili menegaskan pentingnya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk bertindak tegas karena kegiatan tersebut telah melanggar aturan yang disebut dalam Undang-Undang (UU) Pemilu. Untuk itu, Bawaslu harus memberikan sanksi sesuai yang diatur dalam UU Pemilu.
“UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dengan sangat jelas ada larangan bagi kepala desa dan perangkat desa terlibat dukung mendukung terhadap pasangan capres dan cawapres,” ujar Lili.
Menurut Lili, jika Bawaslu tidak memberikan sanksi yang tegas, bisa menjadi preseden buruk bagi pelaksanaan pemilu yang jujur, adil, demokratis dan berintegritas. Selain itu, publik nanti bisa menuduh Bawaslu tidak profesional, diskriminatif dan bahkan berpihak pada capres tertentu.
“Selain itu publik nanti menuduh yang bukan-bukan terhadap Bawaslu. Bisa nanti muncul anggapan bahwa Bawaslu ‘masuk angin’, diskriminatif dan bahkan dianggap berpihak pada capres tersebut,” tegas Lili.
Oleh karena itu, Lili mendorong Bawaslu agar mampu menjalankan tugas pokok dan fungsinya sebagai pengawas pemilu. Ia berharap Bawaslu bisa menjadi wasit yang tegas dan berwibawa dalam mengawasi jalannya pemilu.
“Oleh karena itu, sudah waktunya Bawaslu unjuk kekuatan sebagai wasit yang tegas dan berwibawa,” ungkapnya.
Lubang Hukum yang Dimanfaatkan
Sementara itu, Bonar Tigor Naipospos, Wakil Ketua SETARA Institute, mengatakan ada lubang dalam UU Pemilu yang dimanfaatkan oleh ‘orang pintar’ untuk membenarkan perbuatannya. Termasuk saat bekas Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra mengatakan tidak ada deklarasi dukungan kepada Prabowo-Gibran di acara APDESI.
“Apa yang dilakukan oleh sejumlah organisasi perangkat desa beberapa waktu lalu jelas adalah menunjukkan keberpihakan pada satu calon pasangan. Problemnya teks UU Pemilu kita ambigu. Bila tidak ada pernyataan dukungan langsung dianggap bukan pelanggaran,” kata pria yang akrab disapa Coki ini.
Pada pertemuan APDESI, Yusril mengeklaim para pejabat desa hanya menyatakan aspirasinya. Tidak ada deklarasi pernyataan dukungan. “Inilah lubang-lubang dalam perundangan kita yang selalu dimanfaatkan oleh pihak yang ‘pinter’. Termasuk seperti yang terjadi di MK,” ujar Coki.
Namun, fakta di lapangan, ditemukan sejumlah atribut dengan nomor pasangan Prabowo-Gibran. Bahkan dalam laporan Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia (UI), disebutkan bahwa dukungan ribuan aparat desa adalah hasil mobilisasi Presiden Joko Widodo.
Coki menambahkan UU yang ada sekarang dibuat oleh ‘orang pintar’. “Pembuat UU kita yang ‘pinter’, baik di eksekutif maupun legislatif, karena mereka tahu itu akan berlaku pada mereka ketika berkompetisi untuk memperoleh kekuasaan. Sementara partisipasi publik, entah akademisi maupun kelompok sipil diminimalisir,” kata Coki.
Dengan tingginya tingkat kepentingan oligarki pada Pemilu dan Pilpres kali ini, Coki meyakini pekerjaan Bawaslu akan makin berat. “Bawaslu memang harus bekerja keras, karena masing-masing pihak yang berkompetisi akan memanfaatkan lubang-lubang itu,” ujar Coki.
Coki meminta Bawaslu untuk memberikan penafsiran dan pemaparan tentang aturan permainan (rule of the game) karena kalau tidak maka potensi kecurangan apalagi yang melibatkan institusi pemerintahan menjadi terbuka. (Mar/Bob/Klausa)