Kukar, Klausa.co – Warga Kelurahan Jawa, Kecamatan Sangasanga, Kutai Kartanegara (Kukar), diprediksi bakal terancam keselamatan akibat semburan gas bercampur api dari sumur pengeboran minyak dan gas milik PT Pertamina Unit Hulu Sanga-Sanga (PHSS) dan kontraktornya, PT Pertamina Drilling Services Indonesia (PDSI). Peristiwa yang sudah berlangsung lebih dari dua pekan ini memicu kekhawatiran dan desakan pencabutan izin operasi perusahaan.
Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur (JATAM Kaltim) menilai insiden ini merupakan kelalaian serius. Dan jadi gambaran ketidakpedulian terhadap keselamatan publik. Ledakan semburan gas yang terjadi pada Kamis, 19 Juni 2025, sekitar pukul 05.00 Wita itu memunculkan kobaran api setinggi 12 meter di sekitar sumur pengeboran yang hanya berjarak sekitar 700 meter dari permukiman warga.
“Sudah 14 hari berlalu, tapi tidak ada kejelasan dari Pertamina maupun PDSI soal apa yang sebenarnya terjadi. Warga dipaksa hidup dalam ketakutan tanpa informasi yang jelas,” kata Mareta Sari, Dinamisator JATAM Kaltim, Kamis (3/7/2025).
Warga mulai mengeluhkan berbagai gangguan kesehatan seperti mual, pusing, hingga sesak napas. Tak sedikit yang memilih mengungsi, takut tragedi serupa yang terjadi pada 1988 terulang. Saat itu dua warga meninggal akibat menghirup gas beracun.
Selain ancaman gas beracun, JATAM Kaltim juga mencatat dugaan pencemaran lingkungan yang meluas. Air PDAM yang bersumber dari Sungai Sangasanga diduga terkontaminasi limbah pengeboran hingga ribuan kubik. Meski air yang tersalur ke ribuan pelanggan terlihat keruh, berbau, dan bercampur lumpur, pemerintah daerah maupun PDAM tak mengambil langkah tegas.
“Air tercemar tetap mengalir ke rumah warga. Ini jelas kelalaian pemerintah daerah dan PDAM yang seolah menutup mata,” tegas Abdul Azis, Kepala Divisi Advokasi dan Hukum JATAM Kaltim.
Warga pun hanya menerima kompensasi seadanya, seperti satu dus air mineral, susu kaleng, dan vitamin B kompleks. Bantuan yang dinilai tidak layak ini justru memicu kecemburuan sosial di tengah situasi krisis.
“Ini penghinaan terhadap akal sehat. Bayangkan, warga dengan bayi harus berebut susu. Ini soal kemanusiaan, bukan semata-mata soal korporasi,” kritik Azis.
JATAM menilai Pertamina dan PDSI telah melanggar sejumlah regulasi, mulai dari Undang-Undang Migas hingga peraturan teknis Kementerian ESDM. Kewajiban perusahaan untuk menjaga keselamatan lingkungan dan kesehatan masyarakat dianggap diabaikan.
Karena itu, JATAM mendesak Kementerian ESDM, Dirjen Migas, dan Inspektur Tambang segera membentuk tim investigasi independen yang melibatkan masyarakat sipil untuk mengusut tuntas dugaan kelalaian ini.
“Warga Sanga-Sanga bukan kelinci percobaan. Negara tidak boleh abai saat rakyatnya terpapar gas beracun dan air tercemar,” tutup Mareta. (Din/Fch/Klausa)