Samarinda, Klausa.co – Kota Samarinda berambisi menjadi kota yang bebas dari emisi karbon atau zero carbon. Salah satu langkah yang dilakukan adalah dengan menerapkan green transportation, yaitu transportasi ramah lingkungan yang minim polusi.
Hal ini diungkapkan oleh Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Samarinda, Hotmarulitua Manalu, saat menghadiri rapat bersama Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lainnya di Balai Kota Samarinda, Jalan Kesuma Bangsa, Senin (6/11/2023).
“Kami sebagai leading sektor yang menangani perihal polusi kendaraan akan memulai dengan mewujudkan kendaraan ramah lingkungan,” kata Manalu.
Menurutnya, hal ini dalam rangka mempersiapkan undangan dari Wali Kota Yokohama, Jepang, yang akan disampaikan langsung oleh Wakil Wali Kota Samarinda, Rusmadi Wongso. Dalam undangan tersebut, Samarinda diminta untuk mempresentasikan upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mengurangi emisi karbon di kota ini.
Salah satu upaya yang akan dipresentasikan adalah pengadaan bus listrik dengan sistem BRT (Bus Rapid Transit). Bus listrik ini diharapkan dapat menggantikan kendaraan pribadi yang masih menggunakan bahan bakar fosil.
“Bus listrik ini akan lebih hemat energi, lebih bersih, dan lebih nyaman bagi penumpang,” ujar Manalu.
Namun, Manalu mengakui bahwa pengadaan bus listrik ini tidak mudah. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, seperti sistem pengadaan, pengelolaan, dan perawatan.
Manalu menjelaskan bahwa ada tiga opsi yang masih dalam pertimbangan Pemerintah Kota Samarinda. Pertama, melalui swakelola, yaitu pengadaan bus listrik dilakukan oleh Dishub sendiri. Namun, opsi ini membutuhkan waktu yang lama, karena harus membentuk UPTD khusus yang menangani pengoperasian bus. Selain itu, juga harus menyediakan lahan dan pool khusus untuk BRT.
“Jika kami melakukan pengadaan bus, maka harus diberikan plat merah dan sesuai aturan dilarang memungut tarif. Ini tentu akan memberatkan kami,” tutur Manalu.
Kedua, melalui Perusahaan Daerah (Perusda), yaitu pengadaan dan pengelolaan bus listrik dilakukan oleh perusahaan milik daerah. Namun, opsi ini juga membutuhkan waktu yang lama, karena harus menyesuaikan dokumen seperti Klasifikasi Buku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang dimiliki oleh Perusda. Selain itu, juga harus menyediakan lahan dan pool khusus untuk BRT.
“Perusda juga harus memiliki SDM yang berpengalaman di bidang pengoperasian manajemen transportasi,” tambah Manalu.
Ketiga, melalui pembelian layanan dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub) RI, yaitu pengadaan dan pengelolaan bus listrik dilakukan oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh Kemenhub. Opsi ini didukung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Opsi ini telah diterapkan di 10 kota besar di Indonesia.
“Opsi ini lebih cepat dan lebih mudah, karena kami hanya perlu menyediakan lahan untuk halte dan parkir. Pengadaan, pengelolaan, dan perawatan bus listrik sudah ditangani oleh pihak ketiga,” papar Manalu.
Manalu mengatakan bahwa pihaknya masih menunggu keputusan dari Wali Kota Samarinda, Andi Harun, terkait opsi mana yang akan dipilih. Selain itu, juga menunggu keputusan terkait nama yang akan digunakan untuk transportasi ini. Antara Trans Mahakam atau Trans Samarinda.
“Kami masih butuh keputusan Wali Kota dulu untuk opsi dan nama yang akan dipakai,” pungkasnya. (Ney/Fch/ADV/Pemkot Samarinda)