Samarinda, Klausa.co – Era industri 4.0 telah merambah ke berbagai sektor, termasuk media massa. Dari tahun ke tahun pers terus berkembang, terlebih saat tersentuh digitalisasi. Dari era pers yang pergerakannya dibatasi sampai memudar seiring perkembangan perkembangan.
Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Kalimantan Timur (Diskominfo Kaltim) Muhammad Faisal menuturkan, perubahan tadi merupakan salah satu dinamika yang dialami pers selama ini. Faisal mengungkap, secara garis besar pers Indonesia mengalami dua zaman.
“Zaman pertama, saat pers dikendalikan pemerintah lewat undang-undang. Sementara zaman selanjutnya kala pers mulai memperoleh kebebasan,” jelasnya saat menjadi narasumber dalam Closing Ceremony Mulawarman Law Fair di Fakultas Hukum Universitas Mulawarman pada Sabtu (26/11/2022).
Awak pers Indonesia memperoleh kebebasan kalau keluarnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Meski begitu, dalam aturan tersebut pers wajib mempertanggungjawabkan produk pemberitaannya. Pada era ini, lanjut Faisal, pers mulai dapat bergerak. Namun memiliki segudang tanggung jawab dan aturan.
Setelah Undang-undang Pers, pemerintah kembali mengeluarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. “Nah Pers pun semakin bebas setelah undang-undang tersebut dikeluarkan, berlandas undang-undang tersebut ada beberapa yang kebablasan,” terangnya.
Saat itu pers mulai berorientasi bisnis. “Maksudnya, pers sudah industri, mereka juga butuh pemasukan. Akhirnya terjadilah konglomerasi media massa,” paparnya.
Ini tak lepas dari dampak digitalisasi dan orientasi para pembaca. Kala aturan membuat pers semakin bebas, ditambah digitalisasi semua orang bisa membuat berita. Pembuatan informasi menjadi semakin cepat. Bahkan tanpa ada konfirmasi.
“Satu sisi, kita senang saja masuknya digitalisasi. Namun pemberitaan jadi semakin banyak. Adik mahasiswa bahkan bisa membuat berita. Hari ini buat berita bisa mengalahkan media mana saja,” sambungnya
Namun informasi yang begitu cepat bisa menjadi pedang bermata dua. Terlebih pada era digitalisasi, media sosial semakin membludak dan gila-gilaan. Siapa saja bisa membuat berita. Mengalahkan media konvensional dan media online. Namun sisi lainnya, justru pers malah kebablasan karena tidak ada kontrol, tidak ada etika dan tidak ada skill.
“Jadi buat berita itu sesuka-sukanya saja. Akhirnya berkembanglah hoaks,” pungkasnya.
Kemudian, keluarlah undang-undang ITE. “Ketika ada masalah, kita menggunakan undang-undang ITE, Pers dan Keterbukaan Informasi. Tapi itu tidak cukup juga, media sosial terus berkembang gila dan memicu banyaknya hoaks. Ini yang berusaha kita kendalikan,” tegasnya. (Dey/fch/klausa)
IKUTI BERITA KLAUSA LAINNYA DI GOOGLE NEWS