Samarinda, Klausa.co – Keterbukaan informasi di sektor pertambangan mineral dan batubara masih jauh dari praktik ideal. Meski Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) sudah berusia 17 tahun, di lapangan transparansi kerap berhenti pada slogan tanpa implementasi nyata.
Hal itu mencuat dalam diskusi publik bertajuk “Transparansi ‘Semu’ Sektor Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia” yang digelar di Bagios Cafe, Samarinda, Minggu (28/9/2025). Sejumlah aktivis, akademisi, dan perwakilan masyarakat sipil menyoroti minimnya akses publik terhadap informasi vital soal industri ekstraktif, khususnya di Kalimantan Timur (Kaltim).
Koordinator Pokja 30, Buyung Marajo, menilai pemerintah tidak serius menjalankan mandat UU KIP. Menurutnya, keterbukaan informasi kerap dipelintir sekadar jargon politik.
“Keterbukaan bukan urusan kampanye pendidikan gratis atau kesehatan gratis. Intinya adalah hak publik atas informasi. Kalau ditutup, itu bisa jadi pintu masuk korupsi, misalnya soal dana reklamasi tambang,” tegasnya.
Buyung menekankan pentingnya data produksi tambang di Kaltim dibuka secara luas. Ia juga menyoroti APBD yang seharusnya transparan untuk publik, bukan hanya pemerintah pusat.
Pandangan kritis datang dari akademisi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Warkathun Narjidah. Ia menyebut UU KIP hanyalah “aturan tanpa roh” karena tidak memiliki peraturan turunan di daerah.
“Informasi APBD dari perencanaan hingga realisasi seharusnya bisa diakses publik. Tapi di Kaltim, informasi detail itu masih tertutup,” katanya.
Ia menilai publik sering terpaku pada angka besar tanpa memahami detail di baliknya. “Sebuah peluru buatan Pindad saja bisa dicari informasinya. Lalu mengapa data tambang, yang menyangkut hajat hidup orang banyak, begitu sulit diakses?” ujarnya.
Kritik juga datang dari Erwin Febrian Syuhada dari Fraksi Rakyat Kutim. Ia mencontohkan, warga sulit menelusuri dampak lingkungan akibat operasi tambang besar di Kutai Timur.
“Tiga tahun terakhir, banjir di Kutim sudah darurat. Ada 80 ribu warga terdampak. Tapi informasi soal amdal tambang besar seperti KPC, hampir mustahil diakses,” ungkapnya.
Data terbaru memperlihatkan ketidakpatuhan perusahaan tambang dalam melaporkan kinerja. Di Kaltim, jumlah perusahaan yang tidak menyampaikan laporan naik drastis.,dDari 22 perusahaan pada 2019 (47 persen dari 46 perusahaan) menjadi 41 perusahaan pada 2023 (84 persen dari 49 perusahaan).
Wakil CSO EITI Indonesia, Yusnita Ike Christanti, menambahkan bahwa keterbukaan informasi tidak hanya soal ketersediaan data, tapi juga soal aksesibilitas.
“Apakah difabel bisa mengakses data tambang? Apakah tunanetra bisa membaca tabel dan grafik? Ini bukan sekadar data, tapi soal keadilan,” ujarnya.
Yusnita juga menyoroti bias gender di sektor ekstraktif yang sangat maskulin. Menurutnya, dampak sosial tambang justru banyak dirasakan perempuan, termasuk meningkatnya prostitusi, miras, narkoba, hingga kekerasan seksual.
“Perempuan sering kehilangan ruang bernegosiasi. Tanpa akses informasi, mereka bahkan tidak punya pintu masuk dalam proses pengambilan keputusan,” tegasnya.
Diskusi tersebut menutup dengan satu kesimpulan, keterbukaan informasi di sektor pertambangan masih sebatas jargon. Hak publik atas informasi belum dijalankan serius, sementara dampaknya sudah nyata pada lingkungan, sosial, hingga kehidupan warga.
“Transparansi bukan hadiah, melainkan hak warga. Jika hak ini terus diabaikan, maka kerugian bukan hanya dalam angka, tapi menyangkut masa depan masyarakat luas,” pungkas Buyung. (Din/Fch/Klausa)