Samarinda, Klausa.co – Pemerintah dan DPR kembali membuat langkah kontroversial. Pada Selasa (18/2/2025), Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) resmi diketok menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-13 Masa Persidangan II di Gedung DPR, Jakarta.
Dalam regulasi anyar ini, ada klausul yang menyeret perguruan tinggi ke dalam pusaran bisnis tambang. Sebuah kebijakan yang, menurut banyak pihak, mengancam independensi akademik dan berpotensi membonsai kebebasan berpikir di kampus.
Salah satu pasal yang jadi sorotan adalah Pasal 51A dan 60A. Regulasi ini memerintahkan agar perguruan tinggi dapat menerima manfaat dari pengelolaan tambang yang dilakukan oleh BUMN, BUMD, dan perusahaan swasta melalui skema perjanjian kerja sama.
Secara tersurat, universitas memang tak diberi izin langsung mengelola tambang. Namun, dalam ayat 3 disebutkan, sebagian keuntungan bisnis pertambangan bakal dialirkan ke kampus.
“Perguruan tinggi yang seharusnya objektif dan berbasis ilmiah kini berada dalam risiko menjadi alat legitimasi kepentingan industri tambang,” kata Sartika Nur Shalati, Policy Strategist CERAH, Jumat (21/2/2025).
Sartika menyebut, kondisi ini diperparah dengan pemangkasan anggaran pendidikan oleh pemerintah. Dengan makin menipisnya dana operasional, dunia akademik bisa semakin tergantung pada suntikan dana dari industri tambang. Sartika mengingatkan, aliran dana itu bisa membuat kampus kehilangan daya kritisnya terhadap kebijakan pertambangan dan transisi energi.
“Kalau begini, kampus bisa dipaksa tunduk dan diam, sekalipun kebijakan pertambangan yang didukungnya tidak sesuai dengan prinsip keberlanjutan atau tanggung jawab sosial,” ujarnya.
Sartika meneruskan, jika riset dan kajian akademik didikte oleh kepentingan industri, bukan tidak mungkin penelitian soal energi terbarukan akan dipinggirkan.
“Industri ekstraktif cenderung menolak transisi energi karena mengancam bisnis mereka. Kalau kampus dipaksa bersekutu dengan tambang, penelitian soal energi hijau bisa mati suri,” lanjutnya.
Senada, dosen Universitas Mulawarman (Unmul) Herdiansyah Hamzah melihat motif politik di balik kebijakan ini. Menurutnya, ada dua alasan utama mengapa regulasi ini dipaksakan. Yang pertama, aturan ini adalah bentuk barter kepentingan.
“Ini strategi untuk menundukkan kampus, agar perguruan tinggi tidak lagi kritis terhadap kebijakan pertambangan,” katanya.
Kedua, universitas dipaksa menjadi corong industri ekstraktif.
“Lama-lama kampus akan menjadi mesin produksi narasi bahwa pertambangan ini bermanfaat bagi masyarakat, meski realitasnya jauh dari itu,” ucapnya.
Kritik serupa datang dari Aryanto Nugroho, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia. Ia menilai revisi ini bakal membuka kembali era pemberian izin tambang tanpa kendali. Pasal-pasal baru dalam UU ini memberi jalan bagi koperasi dan UMKM untuk memperoleh Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) tanpa lelang.
“Seakan-akan pemerintah dan DPR tidak belajar dari pengalaman buruk sepuluh tahun lalu. Ribuan izin tambang dulu dikeluarkan tanpa pengawasan yang ketat, banyak yang tidak memenuhi kewajiban pajak, royalti, hingga jaminan reklamasi,” ujarnya.
Aryanto juga mengingatkan bahwa pengawasan dari pemerintah masih lemah. Sampai sekarang, publik belum tahu bagaimana progres pembentukan Ditjen Gakkum di Kementerian ESDM, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam penegakan hukum di sektor pertambangan.
“Pemerintah dan DPR seperti pura-pura lupa bahwa mekanisme lelang dalam UU Minerba 2009 dulu dibuat untuk meminimalkan risiko penyalahgunaan izin tambang,” katanya. (Wan/Fch/Klausa)