Samarinda, Klausa.co – Prevalensi stunting di Kalimantan Timur (Kaltim) kian menjadi perhatian serius, terutama di kawasan pedesaan yang terpencil. Data terbaru yang dirilis oleh Dinas Kesehatan (Diskes) Kaltim mencatatkan peningkatan prevalensi stunting di sejumlah kabupaten/kota sepanjang 2023 hingga 2024. Meski situasi ini mengkhawatirkan, pemerintah daerah telah melancarkan serangkaian langkah untuk menghadapi persoalan tersebut, terutama di wilayah yang akses kesehatannya masih terbatas.
Di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), prevalensi stunting melonjak dari 30 persen menjadi 31,6 persen, sementara di Samarinda, angkanya naik dari 28,5 persen menjadi 29,1 persen. Kabupaten Berau pun mencatatkan peningkatan, dari 26 persen menjadi 28 persen, dan Kutai Timur (Kutim) dari 22 persen menjadi 24 persen.
Kondisi ini memicu pemerintah daerah untuk menekankan pentingnya pendekatan yang lebih menyeluruh dalam menangani stunting di pedesaan. Akses terhadap layanan kesehatan, terutama di kawasan terpencil, menjadi salah satu tantangan utama.
“Salah satu kendala terbesar adalah sulitnya masyarakat di desa-desa mengakses layanan kesehatan dan informasi gizi yang cukup. Ini menjadi tantangan serius bagi kami,” ujar Fit Nawati, Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Kaltim, dalam wawancaranya pada Jumat (18/10/2024).
Pemerintah daerah, dengan respons cepat, meluncurkan beberapa program yang difokuskan pada perbaikan akses kesehatan di daerah-daerah terpencil. Program-program tersebut meliputi penyuluhan rutin mengenai gizi dan kesehatan, serta distribusi makanan bergizi kepada keluarga yang kurang mampu.
“Kami terus memperkuat kolaborasi dengan berbagai pihak agar program ini dapat menjangkau masyarakat di pelosok,” ujar Fit Nawati.
Salah satu strategi penting yang diandalkan adalah pemberdayaan kader-kader kesehatan di tingkat desa, yang bertugas memberikan edukasi langsung kepada masyarakat tentang pentingnya asupan gizi seimbang. Pendekatan berbasis komunitas ini diharapkan mampu menekan angka stunting secara bertahap.
“Kami optimis, dengan kerja sama lintas sektor, kita dapat melihat hasil positif dalam waktu dekat,” tambahnya.
Stunting, yang disebabkan oleh kekurangan gizi kronis terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan, diketahui dapat berdampak panjang terhadap perkembangan fisik dan kognitif anak. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), anak-anak yang mengalami stunting berisiko tinggi menghadapi masalah kesehatan jangka panjang serta kesulitan dalam proses pembelajaran.
Pemerintah Kaltim menyadari betul bahwa krisis stunting adalah masalah yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan satu pendekatan. Kolaborasi dan sinergi lintas sektor, dari penyediaan layanan kesehatan hingga penyuluhan gizi yang masif, menjadi kunci utama dalam upaya mengatasi tantangan ini. (Yah/Fch/Klausa)