Samarinda, Klausa.co – Seiring berkembangnya digitalisasi yang kian canggih, minat pembaca di perpustakaan semakin berkurang. Mayoritas masyarakat kini lebih gandrung membaca melalui internet maupun media sosial (medsos).
Anggota Komisi I DPRD Kota Samarinda Nursobah menuturkan, masyarakat yang membaca di perpustakaan terhitung cukup rendah. Menurutnya, hal ini mempengaruhi instrumen literasi yang telah bergeser.
Jika dulu membaca buku itu dilakukan di sekolah ataupun perpustakaan. Beda hal di era digital sekarang ini, masyarakat atau anak-anak lebih suka membaca melalui internet maupun medsos.
“Kalau saya berpendapat, sebenarnya bukan literasi di Samarinda yang rendah. Namun, instrumennya yang harus diubah. Bila dulu baca buku itu rata-rata di perpustakaan dan sekolah, sekarang diubah membacanya di tiktok, instagram dan media sosial lainnya,” katanya.
Kendati demikian, instrumen yang berubah ini juga bagian daripada literasi. Makanya, ia menyarankan agar instrumen literasi mesti mengikuti perubahan. Misalnya, membaca buku novel sekarang bisa melalui media sosial dan aplikasi penyedia novel.
Dengan begitu, Nursobah menyarankan agar wireless fidelity (WiFi) di Samarinda bisa ditambah. Namun, penambahan WiFi tersebut diharapkan didapat dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim).
“Saya minta bantuan provinsi, cuma minta tanam 100 titik free WiFi tanpa kata kunci di Samarinda dari seribu titik yang direncanakan di Kaltim,” pungkasnya.
Menurutnya, Pemprov sudah sepatutnya dapat memberikan perhatian dan kepedulian yang lebih untuk pemerataan akses telekomunikasi di Kaltim. Terutama, layanan konektivitas jaringan Internet atau WiFi gratis untuk Ibu Kota Provinsi.
“Sekarang, provinsi sudah punya 23 titik WiFi gratis. Sementara Samarinda sudah punya 25 titik. Nah dari 100 titik ini seperti yang disampaikan, bisa ditaruh di perguruan tinggi, pasar, mal dan titik lainnya,” jelasnya.
Jika dihitung-hitung , lanjutnya, pemerintah hanya mengeluarkan anggaran sebesar Rp 25 miliar saja untuk 100 titik WiFi gratis ini. Dampaknya, literasi di Bumi Etam khususnya Samarinda akan meningkat.
“Saya berhitungnya, jika 1 titik itu Rp 20 juta dalam sebulan. Berarti 1 tahun itu Rp250 juta. Kalau 100 titik berarti Rp25 miliar. Saya kira enggak masalah dibandingkan Rp 4 triliun anggaran kita. Apalagi ini soal sumber daya manusia (SDM), kita harus meningkatkan literasi,” bebernya. (Apr/Fch/Adv/DPRD Samarinda)