Samarinda, Klausa.co – Bumi Etam sedang berduka. Dunia akademik kehilangan sosok pendidik yang tak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga hangat dan berkomitmen pada nilai-nilai kemanusiaan. Prof. Sarosa Hamongpranoto, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul), wafat pada Jumat dini hari (2/5/2025), bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional (Hadiknas). Ia menghembuskan napas terakhirnya pada usia 78 tahun di RSUD Abdoel Wahab Sjahranie, Samarinda, setelah seminggu dirawat akibat gangguan jantung.
Kabar duka ini disampaikan oleh Anggota DPRD Kaltim, Sarkowi V Zahry, yang juga dikenal dekat dengan almarhum. Informasi wafatnya Prof. Sarosa diterimanya dari menantu almarhum, yang juga merupakan Tenaga Ahli DPRD Kaltim. Jenazah disalatkan di Masjid Alfatihah, Kampus Unmul Gunung Kelua, dan dimakamkan di TPU Jalan Wahab Sjahranie. Rumah duka berada di Jalan Pramuka 19 Nomor 52, Samarinda.
Bagi Sarkowi, perjumpaan terakhir dengan Prof. Sarosa, sekitar dua bulan lalu di sebuah rumah makan di Samarinda, meninggalkan kesan mendalam. Dalam pertemuan tersebut, almarhum banyak berbicara tentang tiga hal yang menjadi kepeduliannya sepanjang hayat: pendidikan, politik, dan harmoni etnis di Kalimantan Timur.
“Beliau bilang, pendidikan harus menjadi pintu masuk utama bagi rakyat kecil untuk naik kelas. Harusnya gratis, dan aksesnya dibuka seluas mungkin oleh para pemimpin daerah,” kenang Sarkowi.
Di tengah perbincangan, almarhum juga mengkritisi sistem politik yang menurutnya sering kali menghalangi calon pemimpin berkapasitas karena persoalan logistik. “Banyak orang baik tak bisa maju karena sistemnya tidak berpihak,” kata Sarkowi menirukan pesan almarhum.
Tak hanya di ruang akademik dan wacana kebijakan, Prof. Sarosa juga aktif membangun jembatan sosial. Ia merupakan salah satu pendiri Ikatan Keluarga Paguyuban Jawa Timur (Ika Pakarti) di Kaltim. Ia percaya bahwa nilai-nilai keguyuban, persaudaraan, dan kerukunan antar etnis merupakan fondasi penting dalam membangun masyarakat yang damai dan saling menghormati.
Selama kariernya sebagai pendidik, Prof. Sarosa dikenal sabar, egaliter, dan tidak pernah membedakan latar belakang mahasiswanya. Ia dikenal sebagai dosen yang tak hanya memberi ilmu, tapi juga perlindungan. Saat aksi reformasi 1998, ia menjadi penjamin bagi mahasiswa yang ditahan karena aksi unjuk rasa.
Di bidang hukum, almarhum sering memberikan nasihat praktis dan berlandaskan prinsip keadilan. Ia bukan sekadar akademisi, tetapi juga pelaku yang mendorong perubahan lewat nilai dan tindakan.
Prof. Sarosa lahir pada 1 Juni 1947, tepat di Hari Lahir Pancasila. Ia berpulang pada Hari Pendidikan Nasional, menyempurnakan perjalanannya sebagai pendidik sejati.
Almarhum meninggalkan seorang anak, Ayu Fetriana Rosati, dan dua cucu, Anindayu Gendhis Nareswari serta Anandanu Hario Danajaya. (Din/Fch/ADV/DPRD Kaltim)