Klausa.co

Bedah “Pick Me Behaviour” dan Gangguan Kepribadian di Untag Samarinda: Jangan Asal Label, Pahami Dulu

Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Samarinda menggelar seminar psikoedukasi di Auditorium HM Ardans, Jalan Juanda. ( Foto : Istimewa )

Bagikan

Samarinda, Klausa.co – Perilaku “Pick Me” yang belakangan ramai di media sosial ternyata bukan sekadar gaya atau tren. Di baliknya, ada potensi luka psikologis dan gangguan kepribadian yang perlu dipahami lebih dalam. Isu ini menjadi bahasan utama dalam Seminar Psikoedukasi yang digelar Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Samarinda, Kamis (3/7/2025).

Mengangkat tema “Mengeksplorasi Pick Me dalam Spektrum NPD dan BPD”, acara ini bagian dari tugas akhir mahasiswa angkatan 2023 dalam mata kuliah Psikologi Abnormal. Bertempat di Auditorium HM Ardans Untag, seminar ini diikuti sekitar 250 peserta dari berbagai kalangan. Mulai dari mahasiswa, pelajar, hingga masyarakat umum, khususnya Gen Z.

Ketua panitia, Tri Utami Handayani, menjelaskan bahwa seminar ini diharapkan bisa jadi ruang diskusi ringan tapi berbobot seputar kesehatan mental.

Baca Juga:  Afif Reyhan Penuhi Panggilan Bawaslu, Bantah Isu Mobilisasi RT

“Perilaku Pick Me makin sering kita lihat di media sosial. Kami ingin peserta lebih peka dan mampu melihatnya dari sudut pandang psikologi,” ujarnya.

Pj Rektor Untag Samarinda, Dr Evi Kurniasari Purwaningrum, Psikolog, menegaskan pentingnya mahasiswa terlibat langsung membawa isu psikologi ke ruang publik. Hal ini, menurutnya, akan memperluas pemahaman masyarakat, terutama terkait kesehatan mental remaja.

Senada dengan itu, Dekan Fakultas Psikologi, Diana Imawati, menyoroti banjir informasi tentang kesehatan mental di media sosial yang kerap tak diiringi pemahaman mendalam.

“Anak muda harus belajar menyaring informasi. Jangan sampai terjebak pada self-diagnosis yang keliru,” ujarnya.

Dosen sekaligus pemateri, Annisya Muthmainnah T, memaparkan bahwa perilaku Pick Me bisa jadi cerminan luka batin yang berakar pada pengalaman masa kecil. Perilaku ini, kata dia, kerap terkait dengan Narcissistic Personality Disorder (NPD) dan Borderline Personality Disorder (BPD).

Baca Juga:  Andi Harun: Lawan Politik Uang, Pilih Pemimpin Berkualitas

“Kalau dibiarkan, ini bisa merusak relasi sosial dan mengganggu keseharian seseorang,” jelas Annisya.

Ia berbagi panggung dengan psikolog Jovita Nabila Prinanda dari Alurasa.Id Surabaya yang membedah sisi lain perilaku Pick Me—yakni keinginan berlebih untuk disukai, haus validasi, hingga kecenderungan manipulatif, yang bisa jadi ciri NPD.

“Pick Me itu bukan cuma soal ingin tampil beda. Di dalamnya ada emosi yang tidak stabil dan pola pikir yang butuh diurai,” ungkap Jovita.

Kedua narasumber juga memperkenalkan dua pendekatan terapi yang umum digunakan untuk menangani gangguan kepribadian ini, yakni Dialectical Behaviour Therapy (DBT) dan Cognitive Behaviour Therapy (CBT).

DBT fokus membantu individu mengelola emosi dan menjaga relasi interpersonal, sedangkan CBT menitikberatkan pada perubahan pola pikir dan perilaku negatif.

Baca Juga:  Rektor Untag Samarinda Klarifikasi Insiden PKKMB: Tindakan Oknum, Bukan Aturan Kampus

Diskusi menghangat saat Aura Quranique Salsabila Ramadhania dari Universitas Brawijaya mempertanyakan soal pelabelan gangguan kepribadian yang seringkali lebih ditujukan kepada perempuan.

Menanggapi hal ini, Annisya menegaskan bahwa pelabelan bisa memperburuk kondisi psikologis seseorang. Sementara dominasi label terhadap perempuan, kata dia, lebih dipicu oleh konstruksi sosial ketimbang faktor biologis.

“Isu ini sensitif dan kompleks. Karena itu, kita perlu membangun literasi psikologi yang utuh, bukan sekadar ikut tren istilah yang viral,” tutupnya. (Din/Fch/Klausa)

Bagikan

.

.

Search
logo klausa.co

Afiliasi :

PT Klausa Media Indonesia

copyrightⓑ | 2021 klausa.co