Samarinda, Klausa.co – Ribuan aktivitas keuangan ilegal terus tumbuh di ruang digital. Mereka menawarkan iming-iming kerja paruh waktu atau investasi cepat untung. Namun kemasan profesional itu, menanti jerat penipuan. Sejak awal tahun, lebih dari 13 ribu aktivitas keuangan ilegal telah diberangus oleh Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas PASTI).
Dibentuk sebagai respons terhadap lonjakan kejahatan finansial digital, Satgas PASTI mencatat lonjakan entitas ilegal yang luar biasa hingga Mei 2025. Dari layanan pinjaman online (pinjol) ilegal, investasi bodong, hingga lembaga gadai tanpa izin. Lebih spesifik, total sudah 13.228 entitas ditindak.
“Modus mereka kian rapih. Mereka gunakan logo resmi, narasi profesional, bahkan rekrutmen kerja palsu. Banyak masyarakat terjebak karena penampilannya meyakinkan,” kata Parjiman, Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara, Jumat (27/6/2025).
Menurut data yang dirilis, 11.166 dari entitas tersebut merupakan pinjol dan pinjaman pribadi (pinpri) ilegal. Sisanya mencakup 1.811 investasi fiktif dan 251 lembaga gadai liar. Sebanyak 427 platform pinjol ilegal telah diblokir, bersama enam aplikasi pinpri yang kedapatan mengakses dan menyalahgunakan data pribadi pengguna.
Dalam menghadapi kecepatan penyebaran entitas ilegal ini, Satgas PASTI tak lagi bekerja sendiri. Kerja sama lintas institusi melibatkan BSSN, Kominfo, Polri, hingga pelaku industri keuangan.
“Tindakan bisa dilakukan lebih cepat, lebih menyeluruh,” ujar Parjiman.
Salah satu inovasi yang diluncurkan adalah Indonesia Anti-Scam Centre (IASC). Aktif sejak 22 November 2024, lembaga ini berperan sebagai pusat koordinasi penanganan penipuan digital. Enam bulan pertama, IASC menerima 135 ribu laporan dari masyarakat. Lebih dari 219 ribu rekening diduga terlibat, namun yang berhasil diblokir baru 49 ribu.
“Kerugian yang terlapor mencapai Rp2,6 triliun. Tapi yang bisa kami bekukan hanya Rp163,3 miliar atau sekitar enam persen,” tegas Parjiman.
Lebih jauh, Parjiman menyinggung bentuk kekerasan non-fisik yang kerap menyertai aktivitas pinjol ilegal. Intimidasi via WhatsApp menjadi senjata utama para penagih utang.
“Kami terima lebih dari 22 ribu nomor yang digunakan untuk mengancam atau melecehkan. Ini bukan cuma soal uang, tapi soal martabat dan keamanan psikologis warga,” katanya.
Ia menekankan bahwa literasi digital masih menjadi pertahanan utama. Masyarakat diminta lebih kritis saat menerima tawaran keuangan. Apalagi bila menjanjikan keuntungan instan.
“Jangan buru-buru tergiur. Cek izinnya, logikanya, dan latar belakangnya. Kalau ragu, lebih baik tinggalkan. Pelaporan dan kesadaran publik adalah pagar paling depan dalam menghadapi kejahatan keuangan digital,” tutup Parjiman. (Din/Fch/Klausa)