Samarinda, Klausa.co – Kegelisahan menyelimuti Desa Telemow, di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur (Kaltim). Bayang-bayang penggusuran menghantui 93 kepala keluarga (KK) di desa tersebut, menyusul diterbitkannya Hak Guna Bangunan (HGB) oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) kepada PT Ichi Kartika Utama (IKU). HGB ini mencengkram tak hanya kebun dan pemukiman warga, tapi juga kantor desa dan puskesmas.
Keprihatinan ini disuarakan Teo Reffelsen, Manager Hukum dan Pembelaan WALHI Nasional. Menurutnya, sengketa ini berawal dari putusan Komisi Informasi Kaltim atas permohonan informasi Yudi Saputra, warga Telemow, terkait HGB PT IKU. Putusan ini mengabulkan akses informasi pemeriksaan tanah HGB, namun ditolak oleh ATR BPN Kanwil Kaltim dengan dalih informasi dikecualikan.
Teo menegaskan, keterbukaan informasi publik sangatlah krusial untuk melindungi hak-hak warga.
“Warga Telemow berhak mengetahui isi HGB demi meneliti kebenarannya dan, jika memungkinkan, menggugatnya,” terangnya.
Penolakan ATR BPN dikhawatirkan Teo akan memicu konflik. Menurutnya, tanah ini rawan sengketa. Keterbukaan informasi penguasaan tanah sangatlah penting.
“Bagaimana mungkin warga yang telah tinggal di sana selama berpuluh-puluh tahun, bahkan sejak 1912, harus tersingkir akibat HGB?” tanyanya.
Dampak sosial penggusuran pun tak luput dari sorotan Teo. Dia memprediksi bakal banyak keluarga akan terpisah dari lingkungannya.
“Jika ada yang harus pergi, seharusnya perusahaan, bukan warga,” tegasnya.
Harapan warga Telemow sederhana, akses penuh terhadap dokumen HGB. Warga perlu tahu kebenarannya.
“Setelah itu, terserah mereka untuk menggugat atau tidak, terutama jika ada sertifikat hak milik yang diabaikan dalam penerbitan HGB,” tegas Teo. (Yah/Fch/Klausa)