Klausa.co

80 Menit Diam ala Komunitas Sumbu Tengah, Kritik lewat Kesunyian di Hari Kemerdekaan

Aksi diam selama 80 menit, di pelataran Gedung Nasional Samarinda, tepat di bawah Tugu Kebangunan Nasional. (Dok Sumbu Tengah)

Bagikan

Samarinda, Klausa.co – Di tengah riuh lomba tujuhbelasan dan gegap gempita perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia, sekelompok orang memilih cara berbeda. Mereka berdiri diam di Tugu Kebangunan Nasional, di halaman Gedung Nasional, Jalan Panglima Batur Samarinda, selama 80 menit pada Minggu (17/8/2025) siang.

Aksi hening yang dilakukan mulai pukul 11.00 Wita itu dipimpin oleh founder komunitas Sumbu Tengah, Rusdianto. Bagi mereka, kemerdekaan tak semestinya hanya dirayakan dengan balap karung, panjat pinang, atau wajah berlumur cat merah-putih. Kemerdekaan, kata Rusdi, mestinya menjadi momentum untuk menagih janji keadilan sosial yang tak kunjung hadir.

“Lomba-lomba itu riuh, tapi semakin jauh dari pesan perjuangan. Kita percaya nasionalisme tumbuh dari makan kerupuk di tanah atau joget seremonial, padahal rakyat masih memikul beban hidup berat,” ujar Rusdi.

Baca Juga:  Diskusi 200 Tahun Kutai-Belanda, Sejarah Lokal Menantang Narasi Nasional

Narasi aksi ini menyoroti bagaimana simbol-simbol kemerdekaan dipertontonkan tanpa menyentuh realitas. Perayaan Hari Kemerdekaan dianggap hanya memoles luka, sementara rakyat masih terhimpit ketidakadilan dan kesenjangan.

“Kita menyaksikan pejabat tertawa di panggung kenegaraan, seakan kehidupan rakyat di bawah sana tak sedang dicekik kesulitan,” kata Rusdi.

Bicara soal pilihan lokasi aksi, Tugu Kebangunan Nasional dan Gedung Nasional pernah menjadi markas perjuangan kaum Republiken Kalimantan Timur melawan Belanda. Bahkan pada 22 Agustus 1948, tempat ini menjadi saksi peringatan pertama HUT RI di Kaltim meski di bawah bayang intimidasi polisi NICA.

Kini, 77 tahun kemudian, di tempat yang sama, rakyat kembali mengingatkan bahwa janji kemerdekaan masih tertunda.

Baca Juga:  Semarak HUT ke-80 RI, Wagub Kaltim Bagikan 500 Bendera di Samarinda

“Diam bukan berarti kalah. Diam adalah perlawanan yang tak membutuhkan teriakan,” ujar Rusdi.

Dengan diam, Rusdi dan kawan-kawan menolak riuh seremonial yang kian menjauh dari semangat proklamasi. Diam menjadi tanda bahwa rakyat masih menunggu kemerdekaan yang sesungguhnya. (Nur/Fch/Klausa)

Bagikan

.

.

Search
logo klausa.co

Afiliasi :

PT Klausa Media Indonesia

copyrightâ“‘ | 2021 klausa.co