Samarinda, Klausa.co – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kalimantan Timur (Kaltim) belum sepenuhnya aman dari risiko keracunan makanan. Dinas Kesehatan (Diskes) Kaltim menekankan pentingnya disiplin konsumsi, terutama karena makanan yang terlambat dimakan rawan memicu gangguan kesehatan.
Kepala Diskes Kaltim, Jaya Mualimin, menjelaskan bahwa makanan berkuah dan berbahan basah paling cepat terkontaminasi bila dibiarkan terlalu lama.
“Rata-rata makanan harus sudah habis dalam empat jam. Lebih dari itu sangat berisiko menimbulkan kuman atau bakteri,” ujarnya, Sabtu (27/9/2025).
Contoh kasus pernah terjadi di Samarinda. Sejumlah siswa mengalami sakit perut setelah menunda makan siang MBG hingga usai Salat Jumat.
“Kondisi makanan sudah menurun kualitasnya, akhirnya tidak nyaman di lambung,” kata Jaya.
Untuk mencegah kejadian serupa, Diskes rutin memberi pelatihan kepada penjamah makanan. Mulai dari pemilihan bahan, proses memasak, hingga tahap penyajian. Pemantauan juga dilakukan lewat pengambilan sampel dari dapur penyedia sebelum makanan didistribusikan.
“Kalau sampelnya aman, baru bisa dibagikan. Tapi kalau ditemukan masalah, makanan langsung dilarang untuk dikonsumsi,” tegasnya.
Jika kasus keracunan muncul, puskesmas menjadi garda terdepan penanganan. Situasi darurat akan dilanjutkan ke rumah sakit dengan dukungan penyelidikan epidemiologi.
“Setiap minggu kami juga menerima laporan dari puskesmas, termasuk potensi kejadian luar biasa seperti keracunan makanan,” jelasnya.
Jaya menambahkan, meski berbeda dengan keracunan, potensi alergi makanan juga harus diantisipasi.
“Kalau alergi itu spesifik, misalnya hanya pada kepiting atau seafood. Tapi kalau basi, semua orang bisa terdampak,” ujarnya.
Terkait pasokan bahan, Dinkes menegaskan seluruh kebutuhan MBG berasal dari produk lokal. Telur, sayuran, hingga ikan haruan atau gabus dipilih karena lebih murah, bergizi, sekaligus mendorong ekonomi masyarakat.
Saat ini, Diskes bersama Dinas Pangan memperkuat pemetaan rantai pasok agar distribusi bahan makanan lebih terkontrol, memenuhi standar sanitasi, serta mengurangi risiko kedaluwarsa maupun kontaminasi.
“Intinya, keamanan pangan menjadi perhatian utama. Jangan sampai niat baik meningkatkan gizi anak justru terganggu karena kelalaian dalam penyajian makanan,” tutup Jaya. (Din/Fch/Klausa)